POLEMIK HUKUM MEMAKAN BELUT DALAM TURATS NUSANTARA


POLEMIK HUKUM MEMAKAN BELUT DALAM TURATS NUSANTARA

Oleh:

M. Afif Yuniarto, S.H.I., M.Ag



Bagi masyarakat Gresik dan sekitarnya, belut merupakan hewan yang biasa dikonsumsi. Bahkan tidak jarang warung-warung yang ada di pinggir jalan menyediakan belut dengan berbagai olahan sebagai salah satu menu khasnya. Namun dibalik kepopulerannya, belut ternyata menyisakan perdebatan hukum seputar kebolehan mengonsumsinya. Beberapa kalangan menghukumi haram memakan hewan yang secara fisik mirip ular ini, dengan alasan bahwa belut termasuk hewan yang bisa hidup di dua tempat, baik di daratan maupun di perairan. Sementara kalangan yang lain menghukumi halal hewan bernama ilmiah monopterus albus itu.

Perdebatan semacam ini ternyata telah berjalan cukup lama. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Jawi (w. 1349 H) dalam kitabnya yang berjudul “al-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayan Hill al-Balut wa al-Radd ‘Ala Man Harramahu”. Sebagai informasi tambahan, Syaikh Mukhtar ‘Atharid adalah salah seorang ulama nusantara asli Bogor yang kemudian menjadi salah satu pengajar di Masjidil Haram Makkah. Beliau pernah berguru kepada Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha, pengarang kitab I’anah al-Thalibin.

 Kembali ke pembahasan tentang belut, Syaikh Mukthar ‘Atharid di dalam risalah ringkasnya yang berjumlah 17 halaman tersebut pada intinya berusaha menengahi dan mengklarifikasi polemik seputar hukum memakan belut, sehingga tuduhan-tuduhan tidak benar tentang ulama-ulama Jawa yang menghalalkan belut dapat terjawab.

Diceritakan oleh Syaikh Mukthar ‘Atharid bahwa di permulaan tahun 1329 H., terjadi perdebatan yang cukup sengit di antara para ulama tentang hukum memakan belut. Di antara ulama yang terlibat adalah ulama yang berasal dari Jawa, termasuk pula Syaikh Mukhtar ‘Atharid. Dalam perdebatan yang dilakukan dengan cara korespondensi alias saling berkirim dan berbalas surat itu, muncul dua kubu besar. Kubu pertama berpendapat tentang keharaman belut dengan alasan bahwa belut merupakan hewan yang bisa hidup di dua alam (darat dan air) mirip seperti ular. Sedangkan kubu kedua berpendapat sebaliknya. Saking sengitnya perdebatan tersebut bahkan di antara dua kubu itu sampai berbalas surat hingga empat kali. Adapun argumen-argumen yang disampaikan oleh Syaikh Mukhtar Atharid itu kemudian dituangkan dalam kitabnya tersebut.

Syaikh Mukhtar Atharid memang tidak memungkiri bahwa hewan yang mampu hidup di darat dan di air dihukumi sebagai hewan yang haram dikonsumsi. Namun Syaikh Mukhtar Atharid tidak setuju jika belut dikategorikan sebagai hewan yang mampu hidup di dua tempat, seperti ular.

Menurut Syaikh Mukhtar Atharid, dari sisi habitatnya, hewan dapat diklasifikan ke dalam lima macam. Pertama, hewan yang hanya bisa hidup di darat, seperti ayam dan kucing. Kedua, hewan darat yang memungkinkan bisa masuk ke dalam air dalam kondisi-kondisi tertentu, tapi tempat tinggal dominannya tetap di darat dan akan mati jika terlalu lama di air, seperti bebek atau angsa. Ketiga, hewan yang hanya bisa hidup di air sebagaimana ikan pada umumnya. Keempat, hewan air yang terkadang naik ke daratan dalam kondisi tertentu, namun tidak dalam jangka waktu lama. Misalnya beberapa jenis ikan sungai terkadang naik ke daratan untuk mendapatkan makanan lalu kembali lagi ke air. Kelima, hewan yang bisa hidup di darat dan air sama baiknya, seperti kodok, kepiting, dan ular. Mengenai hewan klasifikasi pertama dan kedua, para ulama berbeda pendapat tentang halal dan haram mengkonsumsinya. Sementara hewan klasifikasi ketiga dan keempat, para ulama sepakat tentang kehalalannya. Adapun hewan klasifikasi kelima, para ulama sepakat tentang keharamannya.

Nah, dari kelima klasifikasi di atas, Syaikh Mukhtar Atharid memasukkan belut dalam klasifikasi keempat, sehingga Syaikh Mukhtar Atharid berpendapat bahwa belut termasuk hewan yang halal dikonsumsi. Bagi Syaikh Mukhtar ‘Atharid, belut itu mirip dengan “al-Jirits” (hagfish) yang halal dikonsumsi sebagaimana pendapat yang dinisbatkan kepada Abu Bakar, ‘Umar, Ibn ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, dan Abu Hurairah.

Guna menguatkan pendapatnya tersebut, Syaikh Mukthar ‘Atharid kemudian mendeskripsikan belut dari sisi bentuk dan kehidupannya. Hal ini tidak lain agar pihak yang mengharamkan belut itu tahu lebih detail tentang belut, sebab bisa jadi pengetahuan  mereka tentang belut tidak sedalam Syaikh Mukhtar ‘Atharid yang berasal dari Indonesia, negara di mana belut banyak ditemukan di sana.

Syaikh Mukhtar ‘Atharid menerangkan bahwa secara fisik belut memang menyerupai ular. Bentuknya sama-sama panjang. Hanya saja belut tidak memiliki kulit seperti ular. Tubuh belut licin sebagaimana beberapa jenis ikan.elut licin sebagaimana beberapa jenis ikanr. tubuh mpunyainya. tubuh kan di sana.lut, sebab bisa jadi pengetahuan teng halal di Biasanya hidup di pinggiran sungai dan persawahan yang tanahnya berlumpur. Belut biasanya membuat lubang yang dipenuhi air sebagai tempat tinggalnya di siang hari sekaligus tempat berlindung dari para pemburu. Di malam hari atau di kala sepi, belut keluar dari lubang sarangnya untuk mencari makan. Meskipun demikian, saat keluar sarang, belut tetap berjalan di kubangan-kubangan air yang ada di tanah sawah. Ia tidak bisa lepas dari yang namanya air. Namun di saat-saat tertentu, misalnya saat dirinya merasa terancam, belut mampu berjalan dengan cepat di atas tanah, meskipun tanah tersebut dalam keadaan kering. Ketika dirasa aman, belut akan kembali ke sarangnya yang berair. Bahkan jika ingin membuktikan kalau belut tinggal di air, Syaikh Mukhtar ‘Atharid menunjukkan bahwa meskipun tanah di atasnya kering, namun sarang belut di bawah tanah tetap dipenuhi air. Sebab kalau tidak, belut akan mati. Jika belut itu mati, maka ia akan hancur dan membaur menjadi tanah. Adapun makanan sehari-hari belut adalah hewan-hewan air yang berukuran kecil atau serangga yang jatuh ke dalam air dan sejenisnya.

Keyakinan Syaikh Mukhtar ‘Atharid tentang kehalalan mengkonsumsi belut itu semakin kuat setelah beliau mengkonfirmasi pendapatnya kepada guru-guru beliau di Makkah. Setelah mendengar penjelasan Syaikh Mukhtar ‘Atharid tentang deskripsi belut yang biasa ditemukan di Indonesia, para ulama Makkah yang menjadi guru beliau mengatakan bahwa belut merupakan hewan yang halal dikonsumsi.

Komentar