MUSTAHIK ZAKAT NON MUSLIM MENURUT HASBI ASH SHIDDIQI

MUSTAHIK ZAKAT NON MUSLIM
MENURUT HASBI ASH SHIDDIQI


Pendahuluan
Umat Islam adalah umat yang mulia, ummat yang dipilih Allah untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala umat. Tugas umat Islam adalah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dan untuk menjadi agama yang merahmati bagi sekalian alam, islam melalui salah satu syariatnya mengajarkan bagaimana hubungan yang baik dengan tuhan maupun dengan sesama umat manusia. Ya, tidak lain dan tidak bukan, syariat tersebut adalah zakat, yang notabenenya menjadi rukun islam yang ketiga, setelah syahadat dan sholat.
Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh, bertambah. Seperti pada lafadz “zaka az-zar’u” dalam artian tanaman itu tumbuh dan berkembang. Juga dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan, seperti pada lafadz “qad aflaha man zakkaha”, dalam artian sungguh bahagia orang yang telah membersihkan
dari hal-hal yang kotor.[1] Adapun menurut istilah syara', zakat adalah nama bagi suatu harta yang telah dikeluarkan oleh manusia, yang harta tersebut merupakan hak Allah, dan diberikan kepada orang faqir atau yang membutuhkan. [2]
Zakat dihukumi wajib ketika rasulullah sudah di madinah, yakni bertepatan pada bulan syawal tahun kedua hijriyyah, setelah diwajibkannya perintah puasa ramadhan dan zakat fitrah.[3] Bahkan, menurut Sayyid Sabiq, zakat telah diwajibkan sejak rasul ada di Makkah, namun belum ditentukan kadar dan batasan yang dikeluarkan.[4]
Adapun diwajibkannya zakat, yakni berdasarkan dalil dari Alquran Sunnah, dan Ijma ulama. Dalam Alquran dijelaskan “dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat”. Dalam Assunnah juga dijelaskan, “islam dibangun atas lima dasar, salah satunya adalah zakat”.  Para ulama dari masa ke masa pun, sepakat bahwa zakat hukumnya wajib, bahkan para sahabat rasul pun sepakat untuk membunuh orang yang tidak mau membayar zakat.[5] Dikuatkan lagi dengan hadis rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas,  bahwasannya beliau pernah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, dan berpesan pada Mu’adz :[6]
ان الله تعالى افترض عليهم صدقة في اموالهم تؤخذ من اغنيائهم و ترد الى فقرائهم 
"sesunguhnya Allah mewajibkan bagi mereka (penduduk Yaman) untuk mengeluarkan zakat, yang diambil dari orang kaya diantara mereka, kemudian diberikan kepada orang yang fakir diantara mereka”.
Setidaknya, ada tiga aspek dalam pelaksanaan rukun Islam yang ketiga ini, yang harus ada dan tidak boleh dibantahkan. Pertama adalah Muzakki, yakni siapa-siapa saja yang berkewajiban mengeluarkan zakat. Kedua adalah Mustahik, yakni siapa-siapa saja yang berhak menerima zakat. Ketiga yakni harta-harta yang dikenai zakat.
Muzakki adalah setiap orang islam yang dewasa, cakap, merdeka, dan mempunyai hak kepemilikan penuh pada harta yang akan dizakati.[7] Sedangkan mustahik adalah siapa-siapa yang tersebut dalam surat At-taubah ayat 60[8],
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)
    
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Adapun harta yang dikenai zakat adalah harta yang sudah mencapai satu nishab, dalam artian batas minimal dikenai zakat, yang tentunya setelah harta tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari dan telah mencapai satu tahun (kecuali zakat pertanian dan rikaz).[9] Namun, harta disini adalah harta yang dikenai zakat mal, bukan zakat fitrah.
Dalam perkembangan umat islam, terlebih dikalangan para ulama’ dan pembaharu islam, yang juga disertai dengan meningkatnya angka kemiskinan, terlebih di Indonesia, kemiskinan tidak hanya dirasakan warga yang beragama Islam saja, melainkan warga non Islam pun jua merasakannya. Dan mengingat tujuan disyariatkannya zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan, maka setidaknya ada inisiatif dari ulama pembaharu tersebut, yakni melalui upaya pendistribusian zakat tidak hanya diserahkan pada umat islam saja, melainkan juga umat non islam, yang tentunya dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Inisiatif tersebut padahal sangat bertentangan dengan kesepakatan ulama’ fiqh, yang menegaskan bahwa Islam sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh mustahik. Dan orang kafir tidak bisa menerima zakat secara mutlak apapun alasannya.[10] Akan tetapi salah satu tokoh modernis Indonesia yang berani berinisiatif seperti ini, dan berbeda dengan kesepakatan ulama fiqh adalah Teungku Muhammad Ash Shiddiqhie, yang terkenal dengan sebutan penggagas fiqh Indonesia.

Biografi T.M. Hasbi Ash Shiddiqhie
Muhammad Hasbi lahir di Lhok Seumawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904. Ayahnya Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husien ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama’ terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pondok. Ibunya Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz , merupakan anak seorang Qadi Kesultanan Acheh ketika itu. Menurut salasilah, Hasbi ash Shiddieqy adalah berketurunan Abu Bakar al-Shiddiq (573-13/634M) yaitu khalifah yang pertama. Beliua merupakan generasi ke 37 dari Abu Bakar al-Shiddiq yang meletakkan gelaran ash Shiddieqy diakhir namanya.[11] Oleh sebab itu gelar Ash-Shiddiq dijadikan nama keluarganya. Ketika berusia 6 tahun, ibunya meningggal dunia. Sejak itu ia diasuh oleh bibinya, Teungku Syamsiah.
Sejak kecil Hasbi belajar agama Islam di dayah milik ayahnya. Kemudian pada usia delapan tahun ia sudah pergi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya. Mulanya ia pergi ke dayah Teungku Chik di Piyeung untuk belajar Bahasa Arab. Setahun kemudian ia pindah ke dayah Teungku Chik di Bluk Bayu. Pada tahun 1916 ia kembali pindah ke dayah  Teungku Chik Idris. Di salah satu dayah terbesar di Aceh ini Hasbi khusus belajar fiqih. Dua tahun kemudian ia pindah ke dayah Teungku Chik Hasan Krueng Kale untuk memperdalam ilmu hadits dan fiqih. Setelah dua tahun belajar di dayah ini, Hasbi mendapatkan syahadah (ijazah) sebagai tanda ilmunya telah cukup dan berhak membuka dayah sendiri.
Sekembalinya dari merantau, Hasbi kemudian menjadi anak didik Syaikh al-Kalali. Dari tokoh pembaharu asal Singapura yang kemudian menetap di Aceh, dari tokoh inilah ia mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab para ulama seperti Fatawa Ibnu Taimiyah, Zâdul Ma’âd Ibnu Qayyim dan ‘Ilamul Muwaqi’in.
Melihat semangat dan kemampuan Hasbi itu, Syaikh al-Kalali kemudian mengirimnya ke Surabaya untuk belajar kepada Syaikh Ahmad as-Surkati. Setelah dites ia ditempatkan di kelas takhasus. Selama satu setengah tahun belajar di al-Irsyad, yang paling banyak dipelajari Hasbi adalah kemahiran berbahasa arab dan pengalaman menyaksikan kiprah kaum pembaharu di Jawa yang bergerak secara terorganisir. Akhirnya Syaikh as-Surkati dengan al-Irsyadnya telah memantapkan sikap Hasbi  untuk bergabung dengan kelompok pembaharu. Berbeda dengan kebanyakan tokoh pembaharu lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah. Kemudian Ia mulai menyuarakan pembaharuannya di Aceh, masyarakat yang dikenal fanatik. Namun ia tidak gentar dan surut kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Sikap pembaharuan Hasbi tercermin dalam pemikiran-pemikirannya. Dalam berpendapat ia merasa bebas, tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia
Pada tahun 1933 Hasbi pindah ke Kutaraja (Banda Aceh). Kepindahannya ke ibukota karesidenan ini membuka peluang bagi Hasbi untuk lebih banyak bergerak. Kemudian ia bergabung dengan organisasi Nadil Ishlahil Islami (Kelompok Pembaharuan Islam). Dalam rapat umum organisasi tahun 1933, Hasbi ditunjuk sebagai wakil redaktur Soeara Atjeh, salah satu organ dari Nadil Ishlahil Islami.
Hasbi juga mendaftarkan diri sebagai anggota Muhamadiyyah. Ia pernah menjadi ketua cabang Muhamadiyah Kutaraja dan ketua Majelis Wilayah Muhamadiyyah Aceh.
Di awal kemerdekaan Hasbi ditangkap dan dipenjara oleh Gerakan Revolusi Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon selama satu tahun lebih. Apa yang menjadi sebab semua ini tidak begitu jelas, karena Hasbi sendiri tidak pernah diinterogasi maupun diadili. Tapi ada kemungkinan karena sikap pembaharuannya. Selama di dalam tahanan Hasbi berhasil menyelesaikan tulisan naskah buku al-Islam setebal 1.404 halaman dalam dua jilid. Buku ini kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Sampai tahun 1982 saja buku ini telah mengalami tujuh kali cetak ulang.
Hasbi baru dibebaskan dari penjara setelah ada desakan dari Pimpinan Muhamadiyyah dan surat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Tetapi ia masih berstatus tahanan kota. Setelah dibebaskan ia pulang ke Lhok Seumawe dan menjadi Kepala Sekolah Menengah Islam di sana. Status tahanan kotanya kemudian dicabut pada tanggal 28 Februari 1948.
Setahun kemudian Hasbi bersama Ali Balwi berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Muslim Indonesia (KMI) ke XV mewakili Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dalam kongres itu Hasbi menyampaikan prasaran yang berjudul ”Pedoman Perjuangan Ummat Islam  mengenai Soal Kenegaraan”. Ia juga dikenalkan oleh Abu Bakar Atjeh, ulama asal Aceh, kepada Kiai Wahid Hasyim, Mentri Agama saat itu, dan Kiai Fatchurrahman Kafrawi, ketua Panitia Pendirian PTAIN (cikal bakal IAIN/UIN).
Perkenalannya dengan Kiai Fatchurrahman Kafrawi membawanya kembali ke Yogyakarta dua tahun kemudian, kali ini untuk menetap, karena ia ditawari mengajar di Sekolah Persiapan PTAIN. Karena kepakarannya dalam ilmu hadits, tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Hadis. Sejak itu ia juga diangkat sebagai dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  hingga tahun 1972. Ia juga diangkat sebagai dekan fakultas Syari’ah IAIN Banda Aceh.
Atas jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya adalah Anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975 dan Anugerah Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jogjakarta tahun 1975.
Semenjak di Aceh Hasbi sudah aktif di Masyumi. Dalam pemilihan umum tahun 1955 Hasbi terpilih sebagai anggota konstituante dari partainya. Ia kemudian ditempatkan di Panitia Persiapan Konstitusi (PPK). Sebagai anggota konstituante, pada tahun 1957 Hasbi berangkat ke Pakistan untuk menghadiri International Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of Punjab. Dalam acara ini Hasbi menyampaikan makalah dalam bahasa Arab dengan judul ”Sikap Islam terhadap Ilmu Pengetahuan”.
Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy aktif menulis dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Menurut catatan, karya tulis yang telah dihasilkannya berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 jilid, dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Karya terakhirnya adalah Pedoman Haji, yang ia tulis beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Karya Hasbi paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-Qur`an 30 juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena tidak banyak ulama Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu.
09 Desember 1975, Hasbi mengikuti karantina guna menunaikan Ibadah haji, namun Allah swt. menakdirkan memanggilnya dalam usia 71 tahun. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat, Jakarta. Buya HAMKA dan Mr. Mohammad Roem turut memberi sambutan pada acara pelepasan dan pemakamannya. 
Beberapa karya Hasbi ash-Shiddieqy:
1.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 1-9.
2.      Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
3.      Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat).
4.      Mutiara Hadis 3 (Shalat).
5.      Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji).
6.      Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar & Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad).
7.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy.  
8.      Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958.
9.      Sejarah Pengantar Ilmu Hadis.  
10.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.
11.  Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah.
12.  Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur.
13.  Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2).
Pada dasarnya pemikiran Hasbi Ash Shiddieqy tidak bertentangan dengan pemikiran imam-imam pakar hukum islam zaman dahulu terutama imam madzhab. Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum Islam harus berpijak pada prinsip mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta sadd adz-dzari’ah. Semua prinsip itu, merupakan prinsip gabungan dari setiap madzhab. Maka, untuk memberikan pemahaman yang baik, ia menawarkan metode analogi-deduktif , satu model istinbath hukum yang pernah dipakai oleh Imam Abu Hanifah, untuk membahas satu permasalahan yang tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik. Dengan demikian, untuk memudahkan penerapan metode di atas, ia menggunakan pendekatan sosial-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan penemuan hukum Islam.
Hukum islam (Fiqh) itu adalah hukum yang terus hidup sesuai dengan undang-undang gerak dan subur. Dia mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus. Karenanya hukum islam senantiasa berkembang, dan perkembangan itu merupakan tabiat hukum islam yang terus hidup.[12]
Hukum-hukum yang tidak di nashkan secara tegas, yaitu hukum-hukum yang berdasar ijtihad yang dibina atas ra’yu dan qiyas, atas memperhatikan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, maka sumbernya adalah akal dan kebebasan berfikir yang diikat rapat dengan dasar-dasar keadilan dan mengakui hak-hak manusia, serta keharusan memperhatikan kaidah-kaidah pembinaan hukum dan sumber-sumbernya.[13]
Menurut Hasbi, Fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini sebagian adalah fiqh Hijaz, fiqh yang terbentuk atas adat istiadat dan ‘urf (budaya) yang berlaku di Hijaz. Atau Fiqh Mesir, atau Fiqh Hindi, yaitu Fiqh yang terbentuk atas ‘urf dan adat istiadat yang berlaku di India.
Selama ini, kita belum menunjukkan kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan hukum Fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena itu, kadang-kadang kita paksakan Fiqh Hijaz atau Fiqh Mesir atau Fiqh Iraq berlaku di Indonesia atas dasar taklid.[14]

Pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqhie Tentang Mustahik Zakat Non Muslim
Hasbi Ash Shiddiqie merupakan tokoh pembaharu Islam Indonesia yang memiliki pendapatnya sendiri. Salah satu pendapat beliau yang cukup ekstrim adalah menyatakan bahwa orang non muslim berhak menjadi mustahik zakat. Pendapat ini bisa dikatakan pendapat yang cukup berani sebab mayoritas fuqaha’ mengatakan bahwa salah satu syarat utama seseorang bisa menjadi mustahik zakat selain delapan asnaf yang tertera dalam surat at-taubah ayat 60 adalah Islam. Para jumhur fuqaha’ mengambil pendapat ini dari hadits Rasulullah kepada Muadz
«خذها من أغنيائهم وردها في فقرائهم»
Artinya :
Ambillah zakat dari orang-orang kaya dari mereka dan berikan kepada orang-orang fakir dari mereka.
Dlomir hum  pada redaksi hadits tersebut oleh mayoritas fuqaha’ dimaknai dengan orang-orang Islam. Maka dari itu mereka menjadikan Islam sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh mustahik. Dan orang kafir tidak bisa menerima zakat secara mutlak apapun alasannya.[15] Namun Hasbi mempunyai pemahaman lain, menurutnya hadits itu bermakna umum, jadi boleh dimaknai Islam atau non Islam dan berlaku untuk seluruh masyarakat dalam konteks Indonesia.
Memang secara eksplisit penjelasan mengenai syarat Islam bagi mustahik tidak dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Pada ayat ini diterangkan bahwasannya yang berhak mendapat zakat adalah orang fakir, miskin, amil, muallaf, budak, orang yang berhutang, orang yang sedang berada di jalan Allah (sabilillah), orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk maksiat (ibnu sabil). Ayat ini tidak menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi para mustahik zakat itu. Namun para ulama’ sepakat bahwa ayat tersebut di atas dikhususkan dengan hadits yang tertera di atas, di mana ulama’ menafsiri bahwa Islam adalah salah satu syarat bagi mustahik jika diambil dari hadits itu.
Terhadap masalah ini Hasbi menolak dalil yang menyatakan keharusan menyerahkan zakat hanya kepada delapan golongan sesuai dengan ayat 60 surat At Taubah di atas, dengan pernyataan :
“Ringkasnya, tidak ada dalil yang mewajibkan kita membagi 8, maka boleh kita berikan kepada sebagian dari yang berhak sebagian zakat, dan kita berikan kepada sebagian yang lain ...”[16]
Hasbi memandang bahwa konsep maslahah mursalah harus dikedepankan. Jadi untuk menciptakan ke    sejahteraan bersama harus ada pemerataan tanpa membedakan apakah orang itu Islam atau bukan Islam. Hal ini juga pernah dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab yang memberikan zakat kepada orang miskin non muslim yang tidak sanggup bekerja demi tercapai kesejahteraan bersama seluruh warga negara.
Hasbi juga berseberangan dengan pendapat yang dikemukakan ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa zakat hendaknya hanya diserahkan kepada orang yang menggunkannya untuk ketaatan kepada Allah. Karena Allah mewajibkannya adalah sebagai bantuan bagi orang-orang mukmin yang membutuhkannya untuk menunaikan ketaatan kepada Allah atau orang-orang yang membantu mereka untuk menuanaikan ketaatan tersebut. Orang-orang yang membutuhkan zakat namun tidak menunaikan sholat, maka ia tidak boleh diberi zakat sampai ia bertobat lalu menunaikan sholat.
Zakat merupakan konsep yang unik dalam Islam. Dikatakan demikian karena pertama, tidak ada konsep yang sebanding dengan dengan zakat dalam agama lain. Kedua, zakat sekaligus menyentuh dua dimensi, yakni vertikal dan horizontal. Dalam bahasa lain zakat dapat dikatakan bahwa zakat, sekaligus berkaitan dengan dua aspek, yakni ukhrawi  sebagai bagian dari ibadah mahdhah dan aspek duniawi karena sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial kemanusiaanya . Ketiga, ketentuan zakat sudah diatur sedemikian rinci oleh Islam, tidak hanya menyangkut jenis harta yang wajib dizakatkan, tetapi juga perhitungan, bahkan pihak-pihak yang menerimanya.[17] Mungkin karena adanya unsur kesejahteraan sosial dalam zakat inilah, Hasbi mengedepankan konsep maslahah mursalah sehingga semua masyarakat Indonesia bisa mendapatkan kesejahteraan yang merata dari hasil zakat itu tanpa membedakannya dari sisi agama, apakah Islam atau bukan Islam.
Menurut Hasbi, tidak hanya fakir miskin dan muallaf yang non musliim yang berhak menerima zakat, tetapi non muslim yang bertugas sebagai amil zakat pun berhak menikmati harta tersebut. Hal itu disebbakan karena ayat “wa al amilina alaiha” merupakan lafal umum, jadi, semua pegawai zakat atau amil masuk dalam cakupan ayat ini tanpa melihatnya dari sisi agama, dan karena yang diambil adalah upah. Upah tersebut boleh diambil dari siapa saja walaupun bersumber dari harta zakat.[18]
Dalam mengemukakan pendapatnya, Hasbi memiliki alasan yaitu atas dasar kemakmuran masyarakat, dan itu bisa ia rasakan karena ia memposisikan dirinya sebagai masyarakat Indonesia yang berbaur dengan perubahan setiap masanya. Dan untuk mewujudkan apa yang menjadi alasannya itu, Hasbi mengemukakan bahwa non muslim berhak mendapatkan bagian zakat, asalkan dalam kondisi fakir, miskin, muallaf dan sebagai amil zakat. Dari sini jelaslah bahwa begitu luwesnya Hasbi dalam menetapkan sebuah hukum terhadap sesuatu. Bahkan ia jauh memikirkan hal yang tidak dibahas dan dipikirkan oleh banyak orang.
Inilah salah satu bentuk kepedulian Hasbi terhadap perkembangan fiqih dengan konteks ke-Indonesia-an. Ia menganggap hal ini sangat relevan dan sesuai dengan praktek yang telah dilakukan sejak masa nabi sampai sahabat.


DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1988. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
_________________. 1999. Pedoman Zakat. Semarang : Pustaka Rizki Putra
Mas’ud, Muhammad Ridwan. 2005.  Zakat & kemiskinan. Yogyakarta: UII Press
Noor, Fauzi. 2009. Berpikir Seperti Nabi. Yogyakarta: LkiS, 2009
Rusyd,Ibnu. Tt. Bidayah Al-Mujtahid. Jakarta : Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah
Sabiq , Sayyid. 2009. Fiqh As-Sunnah Jilid 1. Kairo: Dar Al-Fath
Zuhaily, Wahbah. 1985.  Al-fiqh Al- Islam wa Adillatuhu Juz 2. Damaskus: Dar al Fikr

Sumber Internet :
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Hasbi. diakses tanggal 9 Desember 2012








[1] Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Al- Islam wa Adiilatuhu Juz 2, (Damaskus: Dar al Fikr, 1985), 729.  
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Jilid 1, (Kairo: Dar Al-Fath, 2009), 235.
[3] Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Al- Islam wa Adiilatuhu Juz 2, 733.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Jilid 1, 235.
[5] Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Al- Islam wa Adiilatuhu Juz 2, 734.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Jilid 1, 235.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, (Jakarta : Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt )            178.
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Jilid 1, 272.
[9] .Ibid., 240-241.
[10] Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Al- Islam wa Adiilatuhu,  883.
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Hasbi. diakses tanggal 9 Desember 2012
[12] Hasbi As Shiddiqhie, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 45.
[13] .Ibid., 121.
[14] Fauzi Noor, Berpikir Seperti Nabi, (Yogyakarta: LkiS, 2009), 219.
[15] Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Al- Islam wa Adillatuhu,,  883.
[16] Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), 174
[17] Muhammad Ridwan Mas’ud, Zakat & kemiskinan, (Yogyakarta: UII Press, 2005), iii
[18] Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, 176

Komentar