POLIGAMI
DALAM TINJAUAN TEORI DOUBLE MOVEMENT
FAZLUR
RAHMAN DAN RELEVANSINYA TERHADAP CLD-KHI
Oleh
:
M.
Afif Yuniarto
N.
Muh Fauhan Assagaf
Abstrak
Kontroversi
poligami mengenai boleh dan tidaknya menjadi pembahasan yang tidak ada habisnya
hingga saat ini. Perbedaan tersebut mengerucut pada perbedaan penafsiran ayat
poligami yang terdapat pada surat An-nisaa ayat 3. Tulisan ini nantinya akan
berusaha memaparkan perbedaan pendapat mengenai poligami dengan mengedepankan
teori double movement Fazlur Rahman sebagai acuan untuk dibandingkan
dengan pendapat ulama’ konvensional yang dalam hal ini adalah ulama’ madzhab
serta keterkaitan teori tersebut dengan CLD-KHI yang digagas oleh seorang tokoh
pemerhati kesetaraan gender, Siti Musdah Mulia.
Teori double
movement yang mengatakan bahwa perlu adanya pemahaman terhadap legal formal
dan ideal moral terhadap suatu ayat untuk mendapatkan maksud sesungguhnya suatu
ayat ini sangat memperhatikan kontekstualisasi ayat sesuai dengan keadaan yang
dihadapi sekarang. Dan kelihatannya hal ini disetujui oleh Siti Musdah Mulia
yang juga mengedepankan kontekstualisasi ayat dengan berlandaskan pada prinsip
kesetaraan gender.
Dengan
adanya teori tersebut, Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa maksud sesungguhnya
ayat poligami ini adalah monogami, karena menurutnya, pada saat ini ayat
tersebut sudah sampai pada tahapan monogami, di mana sebelumnya ayat tersebut
pada zaman nabi membatasi perkawinan yang tak terbatas dengan perkawinan empat
orang wanita dan sekarang setelah adanya pembatasan empat orang wanita
sampailah pada ayat yang memerintahkan monogami. Dengan demikian bisa disimpulkan
bahwa teori double
movementnya lebih mengedepankan pada aspek historitas dan tahapan-tahapan dalam pensyariatan.
movementnya lebih mengedepankan pada aspek historitas dan tahapan-tahapan dalam pensyariatan.
Kata Kunci : Poligami,
Double Movement, Fazlur Rahman, CLD-KHI
PENDAHULUAN
Pada dasarnya segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan secara
berpasang-pasangan. Hal ini merupakan mutlak adanya sebab sudah menjadi
sunnatullah. Termasuk dalam diri manusia juga. Allah menciptakan manusia
berpasang-pasangan. Ada laki-laki dan ada perempuan. Dalam istilah Quraish
Shihab dikatakan bahwasannya berpasangan adalah fithrah manusia. Dan supaya
manusia bisa mencapai fitrah yang benar sesuai syariat. Maka diperlukan jalan
yang tepat untuk mencapainya. Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan
perkawinan. Sebagaimana yang diatur di dalam nash.
Perkawinan diadakan supaya antara laki-laki dan perempuan ini bisa
membentuk keluarga yang tenang, tentram, damai dan saling mengasihi. Sehingga
bisa mencapai prinsip utama dalam perkawinan.
Dalam aspek kehidupan sosial, manusia merupakan makhluk yang tidak pernah
puas dalam satu hal. Manusia selalu ingin mencoba hal baru dan uniknya hal ini
merupakan watak yang selalu ada pada diri manusia dalam segala hal. Tidak
terkecuali dalam urusan perkawinan. Ketika prinsip dalam perkawinan yang
disebutkan di atas belum atau tidak terpenuhi, maka manusia cenderung ingin
melakukan sesuatu yang baru supaya tujuan ini bisa terpenuhi. Dalam hal cinta
atau rasa senang terhadap wanita, tentunya sebagai laki-laki normal pastinya
tidak akan pernah habisnya, meskipun si laki-laki tersebut sudah bersatus
sebagai suami. Dan hal ini tidak jarang menyebabkan munculnya keinginan seorang
laki-laki untuk mempunyai istri baru tanpa meninggalkan istri yang lama atau
lazim disebut oleh masyarakat dengan istilah ‘poligami’.
Term poligami sebenarnya masih sangat umum dan berlaku baik bagi laki-laki
maupun wanita yang mengawini beberapa orang dari lawan jenisnya sebagaimana
yang disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun di masyarakat, istilah
tersebut banyak berlaku bagi laki-laki yang mengawini beberapa wanita.
Sedangkan istilah untuh wanita biasa dikenal dengan istilah poliandri. Padahal
istilah yang tepat sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia bagi laki-laki yang
mengawini beberapa orang wanita adalah poligini. Jadi, pada nantinya dalam
pembahasan jurnal ini, istilah poligami yang banyak disebut itu merujuk pada
poligami dalam artian poligini, untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami
istilah yang sudah masyhur di masyarakat.
Terkait permasalahan poligami ini, masih banyak perdebatan dari berbagai
kalangan baik dari kalangan agamawan, akademisi, politisi ataupun dari kalangan
yang lain mengenai boleh tidaknya poligami ini, terutama poligami dalam Islam.
Sebagian kelompok ada yang mengatakan boleh melakukan poligami dengan dasar
hukum Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 3. Sedangkan kelompok lain melarang
poligami dengan dasar surat An Nisa’ ayat 3 yang kemudian ayat tersebut
ditafsiri lagi oleh ayat 129 dalam surat yang sama. Jika ditarik dari dua
pendapat yang berlawanan seratus delapan puluh derajat itu, maka bisa
disimpulkan bahwa perbedaan tersebut terkait perbedaan penafsiran mengenai
ayat-ayat yang berbicara poligami sebagaimana yang disebut di atas. Kelompok
yang setuju poligami ini diwakili oleh ulama-ulama’ klasik beserta pengikutnya
termasuk juga para imam madzhab. Dan kelompok yang melarang poligami ini dimotori para
ulama-ulama kontemporer dengan penafsiran terbaru mereka terhadap nash.
Termasuk juga ulama’ kontemporer yang
cukup kontroversial asal Pakistan, Fazlur Rahman dengan teori gerak gandanya
atau dikenal dengan teori double movement.
Di Indonesia sendiri, gagasan terhadap pelarangan poligami ini sudah mulai
dibahas dalam beberapa dekade terakhir ini. Terutama ketika munculnya draft
terbaru yang akan merevisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau dikenal dengan
CLD-KHI (Counter Legal Drafting-Kompilasi Hukum Islam) beberapa tahun
yang lalu, di mana salah satu isinya mengatakan bahwa poligami itu tidak
diperbolehkan. Kelihatannya gagasan ini senada dengan pembaharuan yang digagas oleh
Fazlur Rahman. Dan perlu kiranya membahas gagasan yang cukup kontroversial di
mata kita ini, maka dari itu dalam jurnal ini akan dibahas masalah poligami ditinjau
dari teori double movement Fazlur Rahman dan relevansinya dengan CLD-KHI
yang akan dibandingkan dengan pendapat para Imam Madzhab yang mewakili
ulama-ulama’ klasik.
BIOGRAFI
FAZLUR RAHMAN
Fazlur
Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara sebelum terpecahnya
India, sekarang merupakan bagian dari Pakistan. Dia berasal dari keluarga
religius, ayahnya Maulana Shihabuddin adalah alumni dari sekolah menengah
terkemuka di India, Darul Ulum Deoband. Di Doeband ayahnya belajar kepada
beberapa tokoh yang terkemuka, diantaranya Maulana Mahmud Hasan (wafat 1920)
atau yang lebih dikenal dengan Syaikh Al-Hind dan seorang fakih terkenal
Maulana Rasyid Ahmad Gangohi (wafat 1905).[1]
Keluarga Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni
yang lebih bercorak rasional dibandingkan dengan mazhab yang lainnya.
Seperti
kebanyakan Muslim lainnya Fazlur Rahman belajar ilmu-ilmu keislaman secara
formal di madrasah. Setelah menyelesaikan pendidikannya di madrasah,
dia melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab. Pada
tahun 1942 Fazlur Rahman menyelesaikan pendidikannya di Universitas Punjab
dengan meraih gelar M. A dalam sastra Arab. Walaupun Fazlur Rahman dibesarkan
dalam lingkungan Islam tradisional, dia memiliki sikap kritis yang membuat
dirinya menjadi seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan orang. Sikap
kritisnya tersebut terlihat ketika keputusannya untuk melanjutkan studi ke
Barat, Oxford University, Inggris. Keputusannya tersebut merupakan awal sikap
kontroversial Fazlur Rahman, karena para ulama-ulama Pakistan memandang ganjil
atau negatif apabila jika seseorang belajar Islam di Barat, sekalipun tujuannya
untuk kebaikan ataupun kemajuan umat Islam. Fazlur Rahman bukanlah orang yang
pertama kali mendapat kecaman karena sikap dan pemikirannya yang kritis, Sayyid
khmad Khan, jauh sebelum Fazlur Rahman, pernah menerima kecaman karena sikapnya
yang mendukung politik Inggris di India dan juga karena pemikirannya yang
rasional dia dituduh oleh para ulama sebagai orang yang kafir.
Keputusan
Fazlur Rahman untuk melanjutkan studinya ke Barat, Oxford University, bukan
tanpa alasan yang kuat. Hal ini disebabkan karena kondisi obyektif masyarakat
Pakistan belum mampu menciptakan iklim intelektual yang solid, sebagaimana
ungkapan Fazlur Rahman berikut ini:“the basic question is that of general
intellectual climate prevaling in society: Pakistan society has not been able
to evolve a solid, substansial intellectual climate”. Dan juga secara
kelembagaan Fazlur Rahman tidak menemukan pendidikan Islam tingkat tinggi di
Pakistan dengan kualitas guru-guru besar dengan tradisi riset yang memadai.
Fazlur
Rahman pernah ditanya oleh seorang pendeta Hindu, Sir Radhakhrisnan, di
Inggris: “mengapa anda tidak ke Mesir saja, tetapi malah belajar ke Oxford?”
Fazlur Rahman menjawab: “studi-studi keislaman di Mesir sama tidak kritisnya
dengan India (Pakistan)”. Hal
ini sesuai dengan kritikan Fazlur Rahman terhadap Al-Azhar, satu-satunya
mercusuar pendidikan tinggi Islam, diungkapkannya sebagai berikut: “Al-Azhar,
by contrast, the nucleus of islamic learning, and particularly the theological
college, is relatively unchanged, dispite massive changes at its outskrits in
the rescently established of agriculture, medicine and enginering. Since
islamic law was never abrogated in Agypt as it was Turky, Al-Azhar, in its
college of law, may be able to bring about some real sinthesis in this all
important field... But one sometime wonders and indeed fears if an institution
like Al-Azhar, even it is does want to move, can really advance at a
meaningfull speed or wether it is not like glacier...”
Pada
tahun 1946, satu tahun sebelum kemerdekaan Pakistan, Fazlur Rahman berangkat ke
Oxford University, Inggris, untuk melanjutkan studinya. Pada tahun 1950 Fazlur
Rahman menyelesaikan studi doktoralnya di Oxford University dengan mengajukan
disertasi tentang Ibnu Sina. Fazlur Rahman juga merampungkan penerjemahan karya
Ibnu Sina, Kitab An-Najat untuk diterbitkan di Oxford University Press
dengan judul “Avesina Psychology”. Hal ini menambah reputasi Fazlur Rahman ,
dikalangan sarjana ketimuran yang menguasai Ibnu Sina.[2]
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford
University, Fazlur Rahman mengajar bahasa Persia dan filsafat Islam di Durham University
dari tahun 1950-1958. Dia meninggalkan meninggalkan Inggris untuk menjadi
Associate Professor pada Kajian Islam di Institute of Islamic Studies Mc. Gill
University Kanada di Montreal selama tiga tahun.[3]
Di
awal dekade 1960-an Fazlur Rahman kembali ke negeri asalnya, Pakistan, dan
menjabat selama beberapa waktu menjadi salah satu staf senior pada Institute of
Islamic Research. Pada bulan Agustus 1962 ia ditunjuk sebagai direktur lembaga
riset tersebut. Selain itu, dia juga menjadi anggota Advisory Council of
Islamic Ideology Pemerintah Pakistan (1964). Lembaga Riset Islam, yang
dikelolanya dibentuk dengan tugas untuk menafsirkan Islam dalam
terma-terma(istilah-istilah) rasional dan ilmiah untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat modern yang progresif. Sementara Dewan Penasehat
Ideologi Islam dibentuk pada tahun 1962, memiliki tugas antara lain, meninjau
seluruh hukum, baik yang telah ada ataupun yang akan dibuat, dengan tujuan
untuk menyelaraskan hukum tersebut dengan Al-Qur’an dan Sunnah, serta
mengajukan rekomendasi-rekomendasi
kepada Pemerintah Pusat dan Provinsi tentang bagaimana seharusnya kaum Musimin Pakistan
menjadi Muslimin yang lebih baik. Kedua lembaga ini memiliki hubungan yang
sangat erat karena dewan penasihat bisa meminta lembaga riset untuk
mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran tentang suatu rancangan
Undang-Undang.[4]
Semua ini dilakukan Fazlur Rahman pada masa jendral Ayyub Khan yang bermaksud
membangun kembali semangat nasional dengan cara memperkenalkan perubahan
politik dan hukum.
Partai-partai
politik dan kelompok-kelompok agama yang bertentangan dengan pemerintahan Ayyub
Khan mengetahui satu cara untuk menggagalkan orientasi reformis pemerintah
adalah dengan cara menyerang penggagas ide-ide tersebut, yaitu, Fazlur Rahman,
dengan cara menghujat dan mengecam beberapa isu-isu agama dan fikih Fazlur
Rahman seperti, status bunga bank, zakat, hukum kekeluargaan, hakikat wahyu,
dan lain-lain. Karena pergolakkan ini mempengaruhi kesehatannya dan peran
kepemimpinannya di Lembaga Riset Islam dan di Dewan Penasehat Ideologi Islam,
maka Fazlur Rahman berhenti dari kedua lembaga tersebut. Setelah itu Fazlur
Rahman menjadi professor tamu di University of California, Los Angeles pada
tahun 1969, ia dikukuhkan sebagai guru besar pemikiran Islam di University of
Chicago di musim gugur 1969. Pada tahun 1986 dia dianugerahi Harold H. Swift
Distinguished Service Professor di Chicago, penghargaan ini disandangnya sampai
wafat.[5]
Fazlur Rahman juga menghasilkan karya-karya sepanjang karir intelektualnya,
yaitu lima buah buku dan tidak kurang dari lima puluh jurnal yang dimuat di
beberapa jurnal Internasional. Buku-buku Fazlur Rahman, yaitu:
1. Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy,
merupakan karya Fazlur Rahman yang diselesaikan waktu masih mengajar di
Universitas Durham, Inggris. Dan diterbitkan ketika dia mengajar di Universitas
Mc. Gill, Canada, 1958. Penulisan karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan
bahwa sarjana Muslim modern kurang kurang berminat da perhatian pada masalah
kenabian dan doktrin.
2. Islamic Methodology in History,
diterbitkan oleh Central Islamic Research Institution, 1965. Buku ini bertujuan
untuk memperlihatkan evolusi historis keempat prinsip pokok metodologi
pemikiran Islam, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad, dan Ijma’, dan untuk
memperlihatkan peranan aktual dari prinsip-prinsip tersebut dalam sejarah
perkembangan pemikiran Islam.
3. Islam, pertama kali
diterbitkan The Anchor Book, New York 1968. Kemudian diterbitkan ulang oleh The
Chicago University Press, 1979. Buku ini menyuguhkan kepada pembaca
perkembangan Islam secara umum selama kurang lebih empat belas abad.
4. Islam and Modernity: Transform of an Intellectual
Tradition, diterbitkan oleh The University of Chicago Press,
1982. Buku ini menjelaskan rumusan aspek-aspek pemikiran metodologi pembaharuan
sang penulis.
5. Mayor Themes of The Qur’an,
diterbitkan oleh Bibliothica
Islamica, Minneapolis, Chicago, 1980. Buku ini pada dasarnya merupakan kitab
Tafsir Al-Qur’an.[6]
PENGERTIAN DAN PENDAPAT TENTANG POLIGAMI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami diartikan sebagai sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Ini artinya poligami itu menyangkut
perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa perempuan (poligini) dan
perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki (poliandri). Namun
seiring berjalannya waktu, kata poligami sering merujuk pada perkawinan seorang
laki-laki dengan beberapa perempuan dalam waktu bersamaan. Dan untuk memudahkan
dalam pemahaman, maka setiap kata poligami yang terdapat dalam tulisan ini,
merujuk pada poligami dalam artian poligini yaitu perkawinan antara seorang
laki-laki dan beberapa perempuan dalam waktu bersamaan, mengingat kata ini
sudah populer di telinga masyarakat.
Ø
Poligami menurut Imam Madzhab
Imam Syafi’i,
Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa seorang suami boleh memiliki istri
lebih dari satu, karena dalam agama Islam seseorang laki-laki dibolehkan
mengawini lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang istri. Akan
tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara
perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.
Mewakili pendapat
empat Imam Madzhab tersebut, penulis mengambil pendapat Imam Syafi’i mengenai
poligami. Menurut beliau, seorang laki-laki diperbolehkan beristri lebih dari
seorang, tetapi dibatasi hanya empat orang saja. Tujuannya untuk menjaga
terjadinya perzinaan. Apabila seseorang hanya diberi hak menikahi seorang istri
saja, sedangkan keadaan jasmaninya sedemikian rupa, dan istrinya tidak dapat
melayani suaminya sepenuhnya karena lemah dan sebagainya, suami diberikan kesempatan
untuk beristri lebih dari seorang. Hal ini sesuai dengan anjuran Allah yang
menyatakan bahwa menikahi wanita itu boleh dua atau tiga atau empat.[7]
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisaa ayat 3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا
تَعُولُوا (٣)
Dan jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Akan tetapi, meskipun dibuka kesempatan untuk beristri lebih dari seorang,
seorang suami harus memenuhi syaratnya yang amat berat, yaitu adil, baik dalam
masalah materi maupun immateri. Lantaran sikap adil tersebut sulit dicapai oleh
manusia pada umumnya, Allah menekankan bahwa seorang suami hendaknya beristri
satu saja.[8]
Ø
Poligami menurut Teori Double Movement Fazlur
Rahman
Fazlur Rahman mengawali pandangannya terhadap Al Qur’an
yang ia maknai sebagai firman Allah yang pada dasarnya adalah satu kitab
mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia,
dan bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum
dasar seperti shalat, puasa dan haji. Menurutnya, dari awal hingga akhir, Al
Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua aspek moral yang diperlukan bagi
tindakan kreatif manusia. Oleh karenanya, kepentingan sentral Al Qur’an adalah
manusia dan perbaikannya.[9]
Fazlur Rahman juga menyampaikan akan historisitas Al Qur’an, dengan mengatakan “The
Qur’an
is the divine response, through the
Prophet's mind, to the moral-social situation of the Prophet's Arabia, particularly to the
problems of the commercial Meccan society
of his day.”[10] (Al Qur’an adalah respon ilahi atas masa Al Qur’an,
melalui pemikiran nabi, terhadap situasi moral dan sosial nabi Arab, khususnya
pemasalahan komersial masyarakat Mekkah pada saat itu).
Hal yang senada juga diungkapkan Fazlur Rahman mengenai
sunnah nabi SAW. Ia beranggapan bahwa sunnah nabi SAW. merupakan substansi
perbaikan manusia dan oleh karena itu, menghidupkan al-sunnah merupakan suatu
keharusan dalam melakukan pembaruan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
sejumlah aturan-aturan hukum di dalam Al-Qur’an dan al Sunnah tidaklah bersifat
final melainkan berlaku untuk selamanya, tetapi senantiasa berubah dengan
landasan utamanya yaitu kesesuaiaannya dengan alam realitas yang selalu berubah
pula, baik waktu atau tempatnya.[11]
Dari latar belakang pemikirannya itu, Fazlur Rahman
menggunakan teori gerak ganda atau teori double movement yang ia
prakarsai dalam menginterpretasi Al-Qur’an, khususnya terhadap ayat-ayat hukum.[12]
Dan double movement (gerak ganda) yang dimaksud oleh Fazlur Rahman
adalah sebagai berikut :
1.
Situasi sekarang menuju ke masa turunnya Al-Qur’an (from
the present situation to Qur’anic
times)
Maksud dari gerak pertama ini adalah upaya yang
sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat Al-Qur’an
diturunkan. Dengan pemahaman ini akan dapat melahirkan makna original yang
dikandung oleh wahyu di tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus
dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat
itu.[13]
Dan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap gerak pertama ini, maka mufassir
harus memahami makna sesungguhnya suatu ayat dengan mengkaji latar sejarah dan
persoalan yang menyentuh sebab-sebab mengapa ayat itu diturunkan. Dalam hal
ini, mengkaji situasi makro kehidupan sosial Arab menjelang dan sekitar
penurunan wahyu harus dilakukan. Di samping itu seorang mufassir harus pula
mengerti prinsip-prinsip dasar dari ayat-ayat yang menyentuh
persoalan-persoalan khusus tersebut maksudnya adalah mengetahui tujuan
sosio-moral dibalik ayat Al-Qur’an.[14]
2.
Situasi dari masa turunnya Al-Qur’an kembali ke masa
sekarang (from the Qur’anic times, then back to the present)
Gerak kedua ini berguna untuk menerapkan prinsip-prinsip
dan nila-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca Al Qur’an era
kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan
humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman
yang baik pula tentang sejarah.[15]
Teori double movement Fazlur Rahman ini bisa
diterapkan dalam permasalahan poligami dalam perkawinan. Hal ini terkait
penafsiran surat An Nisa’ ayat 3. Pada dasarnya Fazlur Rahman mengakui adanya
poligami dalam Al Qur’an, tetapi saat ini hukum tersebut tidak berlaku lagi. Ia
menjelaskan bagaimana kondisi Arab waktu turunnya Al-Qur’an sebagai gerak
pertama dari teorinya. Pada saat itu tidak ada batasan jumlah wanita yang
dinikahi. Maka Al-Qur’an meresponnya dengan melakukan pembatasan dengan empat
istri. Maka gerak keduanya adalah mengklasifikasi legal formal dan ideal moral.
Legal formal dari perkawinan adalah pembatasan empat istri, kemudian ia
berspekulasi bahwa ideal moral dari pembatasan tersebut adalah satu istri
(monogami) sebagai kelanjutan pembatasan yang pertama. Maka ketika ayat ini
diaplikasikan pada saat ini, yang menjadi patokan adalah ideal moralnya.[16]
Itu artinya ideal moral atau dalam literatur lain disebut dengan cita-cita
moral dari ayat tentang poligami tersebut adalah monogami. Pada dasarnya ayat
tersebut menghendaki agar orang Islam itu supaya bermonogami, namun redaksi
dalam ayat itu tidak diungkapkan secara langsung melainkan dilakukan secara
bertahap. Mulai dari keadaan bangsa Arab yang “suka” kawin dengan banyak wanita
dibatasi hanya menjadi empat saja dan terakhir dianjurkan untuk kawin dengan
satu saja. Menurut penulis, inilah sebenarnya yang dikehendaki Fazlur Rahman
terkait poligami berkenaan dengan teori double movement. Jadi pada
intinya, Al Qur’an dalam menyampaikan hukumnya dilakukan secara bertahap tidak
spontan supaya tidak mengagetkan pembacanya. Menurut penulis, apa yang
disampaikan Fazlur Rahman terkait tahapan pensyariatan poligami ini sama ketika
pensyariatan khamr yang tidak secara langsung dilarang melalui ayat yang
pertama turun tentang khamr dan benar-benar dilarang ketika turun ayat yang
ketiga tentang khamr ini.
Fazlur Rahman mengatakan bahwa poligami merupakan
perkawinan yang bersifat kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah
yang ada pada saat itu, yaitu tindakan para wali yang tidak rela mengembalikan
harta kekayaan anak yatim setelah anak itu menginjak usia cukup umur atau
baligh. Lantas Al-Qur’an membolehkan mereka (para
wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang.
Tujuan Al
Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang
lemah, seperti, orang-orang miskin, anak-anak yatim kaum wanita, budak-budak,
dan orang-orang yang terjerat hutang, sehingga tercipta sebuah tatanan
masyarakat yang etis dan egaliter.[17]
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya
Fazlur Rahman tidak setuju dengan formulasi para tokoh pembaharu lain yang
menggunakan dalil surat An Nisa’ ayat 3 dan 129 sebagai dasar bahwa asas
perkawinan Islam adalah monogami, yaitu dengan logika berpikir, Al Qur’an
membolehkan poligami dengan syarat berlaku adil, tetapi disebut dalam ayat 129
bahwa manusia tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para isterinya. Mungkin
esensinya benar, bahwa Al-Qur’an menghendaki asas monogami, tetapi formulasi yang
ditawarkan pembaharu ini kurang meyakinkan. Sebab dengan konsep demikian
terkesan ditemukan kontradiksi dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, bolehnya
poligami hanya bersifat temporal, dan tujuan akhirnya adalah menghapuskannya
sebagaimana yang dikehendaki Al Qur’an melalui ideal moral yang terkandung di
dalamnya. Hal ini sejalan dengan tujuan Al-Qur’an untuk menegakkan sosial
justice, umumnya kepada masyarakat secara menyeluruh, dan terutama
komunitas perempuan. Atas dasar itu, pengakuan dan kebolehan poligami hanya
bersifat ad hoc, untuk menyelesaikan masalah yang terjadi pada saat itu.
Ø
Poligami dalam CLD-KHI
Sebelum membahas pandangan poligami menurut CLD-KHI,
sebaiknya kita mengetahui apa itu CLD-KHI? CLD-KHI merupakan singkatan dari Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam adalah naskah yang menjadi tandingan atas
Kompilasi Hukum Islam (Inpres
No. 1 Tahun 1991) yang sejak tahun 2003 diajukan pemerintah sebagai RUU Hukum
Terapan Pengadilan Agama, meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi UU.
CLD-KHI diperkenalkan pada tangal 4 Oktober 2004 di Jakarta oleh Pokja
Pengarusutamaan Gender Depag RI. Sebagaimana struktur KHI, CLD-KHI juga
merupakan hukum materiil Islam dalam bidang perkawinan (116 pasal), bidang
kewarisan (42 pasal), dan bidang perwakafan (20 pasal).
Alasan dibuatnya CLD-KHI karena perlunya
dilakukan kajian ulang terhadap sejumlah produk hukum, juga didasarkan kepada
realitas bahwa alasan-alasan yang mendasari lahirnya sebuah produk hukum akan
berbeda-beda, sehingga memungkinkan adanya ketidakmemadaian produk hukum yang
ada untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di setiap zaman. KHI yang
sesungguhnya juga merupakan hasil kesepakatan para ulama untuk merespon
permasalahan hukum pada saat itu, mengindikasikan adanya keniscayaan
pembaharuan hukum yang dapat diterima masyarakat muslim Indonesia.[18] Dan juga walaupun KHI
telah melakukan terobosan baru dalam pembaharuan hukum Islam seperti, definisi
perkawinan, pencatatan perkawinan, persyaratan minimal usia perkawinan,
persetujuan kedua pihak (calon suami-isteri) dalam perkawinan, cerai dianggap
sah jika dilakukan di depan pengadilan, dan taklik talak dalam perkawinan.
Kendati demikian, terobosan KHI dimaksud, secara substantif masih ada yang bias
gender dan kurang mengakomodir kepentingan yang setara antara laki-laki dan
perempuan, juga kepentingan kelompok minoritas. Karena itulah dperlukan upaya
pembaharuan Hukum Islam yang diwujudkan dalam CLD itu.[19]
Meskipun materinya
mirip dengan KHI, yakni mencakup masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,
namun alasan yang mendasari rumusan CLD tidak sama dengan alasan yang mendasari
lahirnya KHI, yaitu berupa keragaman putusan hukum dalam masalah-masalah yang
sama, yang kemudian dibuat penyeragaman, dan dikukuhkan berdasarkan Inpres No.
1 tahun 1991 sebagai pedoman resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim
di lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia.[20]
Sedangkan poligami
menurut CLD-KHI yang dalam hal ini merupakan hasil pemikiran Ibu Siti Musdah
Mulia, penulis buku Islam Menggugat Poligami terdapat dalam pasal 3 RUU
Hukum Perkawinan Islam CLD-KHI menyatakan bahwa:
1. Asas
Perkawinan adalah monogami (tawahhud al-Zauj).
2. Perkawinan
yang dilakukan diluar asas sebagaimana ayat (1) dinyatakan batal secara hukum.
Penjelasan pasal 3
tersebut menjelaskan “cukup jelas”.[21]
Dengan kata lain bahwa
apabila perkawinan yang dilakukan dil uar
asas dalam ayat (1) atau monogami dinyatakan batal secara hukum. Atau bahwa
perkawinan poligami dinyatakan tidak sah secara hukum atau dilarang oleh hukum
ataupun hukumnya haram.
Siti Musdah Mulia yang merupakan salah satu penggagas
adanya CLD-KHI ini menjelaskan bahwa perlu adanya revisi terhadap perundangan
perkawinan di Indonesia. Sebagai aktivis gender, ia melihat bahwa pasal-pasal
dan ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang serta peraturan pemerintah
terkait yang membolehkan suami berpoligami itu, hanya dilihat dari kepentingan suami
dan sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan istri. Misalnya, andaikata
suami tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami atau suami mendapat
cacat atau penyakit atau suami mandul, apakah pengadilan agama juga akan
memberikan izin kepada istri untuk menikah lagi? Ketentuan KHI tentang poligami
ini jelas menunjukkan bahwa posisi subordinat dan ketidakberdayaan perempuan
dihadapan laki-laki. Padahal kalau dihayati dengan hati yang jernih sebagai
manusia normal, mau tidak mau harus diakui bahwa istri yang mandul atau
berpenyakit bukanlah hal yang disengaja, melainkan karena takdir tuhan.[22]
Siti Musdah Mulia mengusulkan bahwa revisi terkait UU
perkawinan hendaknya dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.
Prinsip pluralisme.
2.
Prinsip nasionalitas.
3.
Prinsip demokrasi yang melandaskan diri pada asas
kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia.
4.
Prinsip kemaslahatan.
5.
Prinsip kesetaraan gender.[23]
PANDANGAN
TERHADAP POLIGAMI DI INDONESIA
Di Indonesia poligami diatur dalam beberapa ketentuan
perundangan, berikut pandangan poligami ditinjau dari KHI dan UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.
Pengertian
perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1, yaitu:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[24]
Jika dilihat dari pasal tersebut
mengindikasikan bahwa sesungguhnya perkawinan itu antara seorang pria dan
seorang wanita atau lebih dikenal dengan asas monogami. Akan tetapi pada pasal
3 ayat 1 dinyatakan sebagai berikut:
1.
Pada
asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh memiliki seorang suami.
Kata-kata “pada asasnya”
menunjukkan bahwa boleh ada penyimpangan. Hal ini terbukti dengan bunyi pasal
selanjutnya yaitu pasal 3 ayat 2 yang berbunyi:
2.
Pengadilan,
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami.
Akan tetapi asas monogami disini sifatnya tidaklah mutlak tetapi juga dapat
memperbolehkan seorang laki-laki untuk berpoligami apabila dia dapat memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh UU ini.
Mukti Ali, pada saat itu menjabat
sebagai Menteri Agama menyatakan, bahwa poligami itu diibaratkan dengan “pintu
darurat” pada pesawat. Apabila kalau pesawat yang hendak terbang harus memiliki
atau dilengkapi dengan “pintu darurat”, disamping pintu biasa. Namun, orang tidak dapat
keluar masuk melalui “pintu darurat” apabila situasinya tidak dalam keadaan
darurat. Begitu juga dengan poligami tidak semua orang dapat berpoligami
kecuali pada situasi tertentu.[25]
Kompilasi
Hukum Islam juga mengamini UU No. 1 Tahun 1974 bahwa diperbolehkan berpoligami
asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pada
pasal 4 ayat 1 dan 2, sebagai berikut:
1.
Dalam
hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal
3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.
2.
Pengadilan
dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
Syarat di atas
termasuk syarat alternatif,. Syarat tersebut kalau ingin berpoligami hanya harus memenuhi salah
satu syarat saja. Syarat selanjutnya adalah syarat kumulatif terdapat pada UU No.
1 Tahun 1974 pada pasal 5 ayat 1 dan 2, sebagai berikut:
1.
Untuk
dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.[27]
Sedangkan
untuk KHI selain syarat alternatif dan syarat kumulatif tersebut juga ada
syarat lain yang terdapat dalam KHI pasal 55, sebagai berikut:
1.
Beristeri
lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2. Syarat
utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
ister-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri dari seorang.[28]
ANALISIS
TERHADAP TEORI DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN DAN CLD KHI
Fazlur Rahman berpandangan bahwa poligami itu terlarang untuk diaplikasikan
hari ini, sebagaimana teori double movement-nya yang pada intinya
mengatakan bahwa hal terpenting dalam memahami suatu ayat adalah mengetahui legal
formal (makna tersurat ayat) dan ideal moral (cita-cita yang diharapkan dalam
suatu ayat/maksud sesungguhnya dari suatu ayat). Dan menurut teori ini, ideal
moral dari ayat poligami adalah monogami. Dalam menanggapi pendapat Fazlur
Rahman yang menekankan pada kontekstualisasi ayat, Daden Robi Rahman dalam
bukunya mengomentari bahwa kalau saja Fazlur Rahman menggunakan
kontekstualisasi interpretasi seharusnya ia mengatakan bahwa poligami itu malah
diperbolehkan, karena konteks hari ini menunjukkan masalah maraknya kasus
perselingkuhan dan perzinahan, apalagi sensus laki-laki dan perempuan yang
lumayan tinggi perbedaan kuantitas (perempuan lebih banyak dari laki-laki).
Tapi Fazlur Rahman malah melarang poligami, hal ini menunjukkan tidak
konsistennya Fazlur Rahman dalam mempertahankan teorinya.[29]
Siti Musdah Mulia sebagai penggagas CLD-KHI memiliki pemikiran yang hampir
sama dengan Fazlur Rahman terkait dengan kontekstualisasi ayat. Ia menyanggah
alasan yang dikemukakan Daden Robi Rahman terkait dengan kondisi saat ini yang
menunjukkan bahwasanya jumlah laki-laki itu lebih sedikit dari perempuan. Ia
menyatakan bahwa ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan itu tidak
sepenuhnya benar. Sebab, jika mengacu kepada data biro pusat statistik yang
dimaksudkan dengan kelebihan jumlah perempuan adalah perempuan yang berusia di
bawah 12 tahun dan di atas 60 tahun, karena usia perempuan rata-rata lebih
panjang daripada usia laki-laki. Secara logika, menurutnya kalau ingin
poligami, maka pilihlah perempuan di bawah umur 12 tahun atau di atas umur 60
tahun. Tetapi menikahi perempuan di bawah umur 12 tahun dalam konteks sekarang
dipandang sebagai kejahatan kemanusiaan karena melanggar HAM.[30]
Jadi, pada intinya menggunakan alasan tidak seimbangnya jumlah laki-laki dan perempuan
itu kurang tepat dalam memaknai kontekstualisasi ayat poligami.
Siti Musdah Mulia juga menambahkan bahwa orang yang membolehkan poligami
dengan hanya berdasar pada satu ayat atau bahkan setengah ayat itu sungguh
sangatlah naif. Sebab, menurutnya dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari seratus
ayat tentang perkawinan, sehingga sangat tidak logis memahami poligami dengan
hanya bersandar pada satu ayat saja. Kalaupun dibenarkan berdalil pada satu
ayat saja, maka kelompok yang pro poligami tidak memahami teks ayat 3 surat
An-Nisaa itu secara utuh. Sebab, dalam ayat tersebut terdapat ayat yang
membolehkan perbudakkan, tetapi kenyataannya mereka melarang perbudakkan dan
hanya menggunakan yang poligami saja. Seharusnya jika poligami dibolehkan, maka
perbudakan juga harus dibolehkan, demikian sebaliknya. [31]
Menanggapi pernyataan Siti Musdah Mulia terkait ayat poligami ini, Neng
Djubaidah berpendapat bahwa penghapusan perbudakkan yang dianalogikan terhadap
penghapusan poligami adalah tidak tepat. Karena, ayat yang mengatur tentang
poligami (maksudnya poligini) hanya terdapat dalam surat An-Nisaa ayat 3.
Adapun ayat Al-Qur’an yang menganjurkan memerdekakan budak paling tidak ada 6
ayat dalam beberapa surat, yaitu surat Al-Baqarah ayat 177, An-Nisaa ayat 92,
Al-Maidah ayat 89, At-Taubah ayat 60, An-Nur ayat 33, dan surat Al-Balad ayat
13.[32]
Meskipun menurut penulis bahwa ayat-ayat tersebut tidak secara langsung
melarang perbudakkan melainkan menghapuskannya sedikit demi sedikit baik
melalui pemerdekaan budak sebagai pembayaran kafarat dan pemberian zakat kepada
hamba sahaya (budak) yang tujuan utamanya adalah memerdekakan budak dan
sebagainya. Namun, ayat-ayat ini sudah mewakili upaya penghapusan perbudakan.
Jadi dalam pemahaman suatu ayat, haruslah dikaitkan dengan ayat lain, misalnya
dalam hal ini adalah masalah perbudakan yang dibarengkan dengan masalah
poligami. Karena masalah perbudakan tidak hanya diatur dalam satu ayat itu saja
(ayat 3 surat An-nisaa), maka penafsiran masalah tersebut harus dikaitkan
dengan ayat lain.
KESIMPULAN
Dari analisis yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan
terkait perbedaan yang terjadi dalam masalah kebolehan poligami ini mengerucut
pada perbedaan cara penafsiran ayat poligami. Kelompok yang pro poligami, dalam
hal ini diwakili ulama mazhab dan pemerintah Indonesia yang dimanifestasikan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
atau Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, melihat dan
memahami ayat poligami secara tekstual. Sedangkan kelompok yang kontra dengan
poligami yang diwakili oleh Fazlur Rahman dan
Siti Musdah Mulia melalui CLD-KHI-nya, melihat dan memahami ayat
poligami secara kontekstual dengan mempertimbangkan kesesuaian keadaan yang
tepat.
Fazlur Rahman melalui teori double movement nya memahami larangan
poligami melalui ideal moral yang terdapat dalam ayat poligami. Dan ideal moral
yang dimaksud adalah monogami karena ia menilai pada saat ini penerapan
monogami sudah seharusnya diterapkan setelah adanya pembatasan empat istri di
zaman nabi. Hal yang sama juga dikemukakann Siti Musdah Mulia yang dituangkan
dalam CLD-KHI terkait pelarangan poligami dengan berdasar pada kontekstual ayat
dan mengedepankan maslahah yang dalam hal ini adalah kesetaraan gender.
DAFTAR
PUSTAKA
A’la,
Abd. 2003. Dari Modernisme ke Islam Liberal. Jakarta : Paramadina.
Djubaidah,
Neng. 2012. Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat. Jakarta
: Sinar Grafika.
Mas’adi,
Ghufron A. 1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Mas’ud,
Ibnu dan Zainal Abidin. 2007. Fiqh
Madzhab Syafi’i. Bandung : Pustaka Setia.
Mulia,
Siti Musdah. 2007. Islam Menggugat Poligami. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Rahman,
Daden Robi. Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Ahkam. Ponorogo
: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS).
Rahman,
Fazlur. 1982. Islam and Modernity. London : Chicago Press.
_______.
1994. Metode dan Alternatif Neomodernisme
Islam terjemahan Taufik Adnan Amal. Bandung:
Mizan.
_______.
1996. Tema Pokok al-Qur’an terjemahan Anas
Mahyuddin. Cet. II. Bandung: Pustaka.
_______.
2001. Gelombang Perubahan Dalam Islam terjemahan Aam Fahmia. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Taib,
Mohamed Imran Mohamed. 2007. “Fazlur Rahman (1919-1998) Perintis Tafsir
Kontekstual”. Yayasan Mendaki.
Tim
Redaksi Nuansa Aulia. 2012. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa
Aulia.
Tutik,
Titik Triwulan dan Trianto. 2007. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta:
Prestasi Pustaka
Umi
Sumbulah, “Ketentuan Perkawinan Dalam
KHI Dan Implikasinya Bagi Fiqh Mu’asyarah: Sebuah Analisis Gender”
[1] Fazlur
Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terjemahan Aam Fahmia (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001), 1.
[2] Ghufron
A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), 19.
[3] Fazlur
Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terjemahan Aam Fahmia, 2.
[4] Fazlur
Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terjemahan Taufik
Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1994), 14.
[5] Fazlur
Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terjemahan Aam Fahmia, 4
[6] Ghufron
A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, 24.
[7] Ibnu
Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, (Bandung : Pustaka
Setia, 2007), 324.
[8] Ibid.,
325.
[9] Abd
A’la, Dari Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta, Paramadina, 2003), 82.
[10] Fazlur
Rahman, Islam and Modernity, (London : Chicago Press, 1982), 5.
[11] Daden
Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Ahkam, (Ponorogo
: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2010), 27.
[12] Ibid.
[13] Ibid.,
28
[14] Mohamed
Imran Mohamed Taib, “Fazlur Rahman (1919-1998) Perintis Tafsir Kontekstual”,
Yayasan Mendaki, 26 Februari 2007. 9
[15] Daden
Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Ahkam. 28.
[16] Ibid.,
30.
[17] Fazlur
Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Terjemahan Anas
Mahyuddin, Cet. II (Bandung: Pustaka, 1996), 68.
[18] Umi
Sumbulah, “Ketentuan Perkawinan Dalam
KHI Dan Implikasinya Bagi Fiqh Mu’asyarah: Sebuah Analisis Gender”, 95.
[19] Ibid.,
98.
[20] Ibid.,
95.
[21] Neng
Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), 37.
[22] Siti
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007), 179
[23] Ibid.,
190.
[24] Tim
Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2012), 76.
[25] Titik
Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah,
(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 122.
[26] Tim
Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, 76.
[27] Ibid.,
77.
[28] Ibid.,
16.
[29] Daden
Robi Rahman, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam,
30.
[30] Siti
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, 53.
[31] Ibid.,
51.
[32] Neng
Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat, 35.
Komentar
Posting Komentar