ISLAM ITU MEM-BUMI BUKAN
MENG-ARAB
Oleh : M. Afif Yuniarto
Islam diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW kurang lebih 15 abad yang lalu. Pada saat itu segala
perintah-perintah agama yang terbingkai dalam syariat Islam semuanya terbungkus
dalam satu bahasa yaitu bahasa Arab. Hal tersebut memang tidak mengherankan
sebab rasulullah bertempat tinggal dan beromisili di Arab. Dan oleh sebab itu
pula, Al-Quran maupun hadits yang notabene merupakan sumber rujukan utama umat
Islam tertulis dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa Arab memang bahasa yang
mempunyai nilai kesusastraan yang tinggi. Satu kata dalam bahasa Arab mempunyai
banyak intreprestasi jika diterapkan dalam bahasa lain.
Senada dengan bahasa, dalam
penurunan syariat kala itu juga banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya
bangsa Arab. Budaya yang bertentangan dengan syariat akan dihapuskan sedangkan
budaya yang baik yang senada dengan syariat Islam dipertahankan.
Namun, apa jadinya ketika Islam
sudah menyebar luas ke penjuru dunia sehingga berhadapan dengan bahasa-bahasa
serta tradisi-tradisi baru yang kemungkinan besar berbeda seratus delapan puluh
derajat
dengan bahasa dan budaya Arab.Tentu akan membuat bingung khususnya
pada orang-orang minoritas Islam yang berdampingan dengan berbagai macam bentuk
budaya dan agama di sekitarnya.
Kesalahan yang sering terjadi
pada umat Islam saat ini adalah terlalu kakunya pemahaman mereka. Banyak yang
mengatakan bahwa kalau tidak “Arab” bukan Islam. Semua yang tidak sesuai dengan
budaya “Arab” dikatakan bid’ah. Dan bid’ah itu sesat tempatnya di neraka. Tidak
memakai jubah/gamis saat shalat bid’ah. Tidak berjenggot bid’ah. Makan pakai
sendok juga bid’ah. Semuanya yang tidak ada dan tidak dilakukan pada zaman nabi
bid’ah. Kalau tidak memanggil saudaranya dengan kata “Akhiy/Ukhtiy” tidak Islam
dan lain sebagainya. Inilah kesalahan yang banyak terjadi di sekitar kita.
Mereka menggeneralisir bahwa yang “Arab” itu mesti Islam dan kalau bukan “Arab”
itu bukan Islam.
Memang ada hadits yang
menyatakan bahwa bahasa Arab merupakan bahasanya penduduk surga. Itu benar. Hal
tersebut diucapkan nabi supaya kita termotivasi untuk belajar bahasa Arab yang
notabene merupakan bahasa yang dipakai dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang hebat yang mempunyai
nilai-nilai sastra yang tinggi sehingga tidak bisa dipelajari dalam waktu satu
atau dua jam saja. Banyak ilmu yang bermunculan untuk memahami bahasa yang satu
ini, seperti ilmu nahwu, shorof, mantiq, balaghoh, Arudl maupun ushul fiqh.
Dengan memahami semua ilmu itu kita bisa memahami maksud yang ada dalam
Al-Qur’an sehingga dalam memahami satu teks ayat itu tidak kaku. Namun bisa
berkembang sesuai dengan kacamata penilaian yang berbeda-beda.
Terkait kenapa dalam Al-Qur’an
kok banyak sekali hal-hal yang berbau Arab baik bahasa maupun budaya. Satu
jawaban yang tentu kita sudah miliki adalah karena Al-Qur’an diturunkan di
negara Arab dan berhadapan dengan realita kehidupan yang sedang berkembang di
sana. Sebagai contoh dalam hal ketika Al-Qur’an menggambarkan surga dengan
sungai-sungai atau telaga yang airnya jernih yang di kelilingi taman-taman
berbunga nan indah atau ketika neraka digambarkan dengan api yang panas. Hal
tersebut dikarenakan keadaan geografis Arab dipenuhi dengan padang pasir tandus
yang sangat panas sehingga sangat jarang ditemui tumbuh-tumbuhan hijau di sana.
Dan ketika diberitahu bahwa surga adalah taman-taman yang indah penuh dengan
bunga di mana di dalamnya terdapat sungai-sungai maupun telaga yang jernih
airnya serta menyegarkan, maka diharapakan bangsa Arab termotivasi untuk
menjalankan ibadah yang akan mengantarkan mereka kepada surga yang keadaannya
sedemikian rupa. Demikian juga ketika membicarakan neraka dengan api yang
sangat panas, tentunya mengantisipasi mereka untuk berbuat kejahatan yang akan
mengantarkan mereka kepada neraka yang keadaannya sedemikian rupa.
Lain halnya ketika Al-Qur’an
diturunkan bukan di Arab melainkan di Indonesia yang memiliki tingkat kesuburan
yang sangat tinggi, bahkan ada yang mengatakan tongkat kayu ditancapkan di
tanah pun akan jadi tanaman atau di negara-negara Eropa yang hijau dengan
kebun-kebun serta sungai-sungai yang jernih airnya, mungkin Allah tidak
menggambarkan surga sebagaimana ketika Al-Qur’an diturunkan di Arab sebab hal itu
sudah banyak ditemukan di negara-negara tersebut. Sehingga masyarakat yang
hidup di negara-negara tersebut kurang termotivasi untuk beribadah karena hal
yang demikian sudah banyak dijumpai di negara-negara mereka. Mungkin Allah akan
menggambarkan surga dengan hal yang lain yang tidak dijumpai di negara-negara
tersebut. Atau bahkan negara-negara kutub yang sangat jarang dilewati matahari
sehingga keadaan di sana sangat dingin dan banyak diselimuti salju sepanjang
hari mungkin lebih memilih neraka yang digambarkan dengan suatu tempat yang
sangat panas dibanding surga. Ini hanyalah suatu perumpamaan saja. Dari sini
bisa kita dapatkan bahwa Allah sangat mengakomodir keadaan geografis dalam
menurunkan perintah sehingga bisa diterima dan memotivasi mereka menjalankan
perintah-Nya.
Hal tersebut juga sering
diterapkan Rasulullah. Banyak yang mengatakan bahwa jubah merupakan pakaian
yang islami karena dipakai oleh Rasulullah. Namun tahukah anda bahwa Abu Jahal
maupun Abu Lahab juga memakai jubah. Dengan demikian apakah jubah merupakan
satu-satunya pakaian yang islami ? silahkan jawab sendiri. Rasulullah memakai
jubah untuk mengakomodir budaya pakaian yang ada pada saat itu. Semua orang di
Arab pada saat itu mengenakan jubah tanpa pandang apakah dia muslim atau tidak.
Kalaupun Rasulullah mengatakan bahwa jubah merupakan satu-satunya pakaian yang
islami, tentu Abu Jahal dan Abu Lahab tidak akan memakainya, sebab kedua orang
itu sangat memusuhi hal-hal yang berbau islam. Satu guyonan pun mencul terkait
hal ini, andaikan rasulullah diturunkan untuk masyarakat Jawa dan hidup di
Jawa, maka tidak menutup kemungkinan beliau akan memakai baju batik,
berblangkon atau memakai sarung. Namun sekali-kali ini hanya guyonan belaka,
yang menunjukkan bahwa Rasulullah juga mengakomodir nilai-nilai yang diakui
oleh masyarakat sehingga beliau mempertahankan tradisi yang sudah dilakukan
turun temurun oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Islam.
Ketika kita tetap memaksakan
harus meng-Arab. Dan kalau tidak demikian maka tidak Islam, maka jargon Islam
rahmatan lil alamiin tidak akan terwujud sebab kata alam di sana
seharusnya mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang pada
masyarakat sehingga tidak memberatkan manusia dalam menjalankan ibadah. Tentu
kita mengingat sejarah-sejarah madzhab dalam fiqh. Para ulama’ madzhab yang
empat itu banyak berbeda pendapat dalam hal-hal tertentu. Dan salah satu
penyebabnya adalah karena perbedaan mereka dalam hal tempat tinggal. Sebagai
contoh Imam Abu Hanifah yang hidup di Irak, di mana tradisi keilmuwan di sana
sangat mengakomodir rasionalitas dengan Imam Malik yang hidup di Hijaz dengan
tradisi keilmuwan hadits yang banyak ditemukan di sana, keduanya banyak
memiliki pandangan yang berbeda dalam masalah-masalah tertentu. Demikian juga
yang pernah terjadi pada Imam Syafi’i yang pernah merevisi beberapa pendapatnya
karena perbedaan geografis yang pernah beliau tinggali. Antara Irak dan Mesir
memiliki keadaan geografis dan masyarakat yang berbeda, maka dari itu Imam
Syafi’i pun merevisi pendapatnya untuk menyesuaikan keadaan geografis di sana.
Dengan berlakunya jargon Islam
rahmatan lil alamin dalam arti sebenarnya islam akan diterima di segala lini
dan segala penjuru dunia karena kefleksibelan dalam menerapkan hukum tergantung
keadaan geografis yang dihadapinya. Sehingga tidak heran jika ada ulama’ yang
mengatakan “al-Islam shalih li kulli al-zaman wa al-makan” (Islam itu
sesuai dengan tiap masa dan tempat). Atau bahkan ada ulama’ yang mengganti
lafad shalih menjadi mushlih yang akan merubah artinya menjadi
“Islam itu menyesuaikan keadaan masa dan tempat”. Dalam kaidah fiqhiyah juga
diterangkan “taghayyur al-hukm bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah” yang
maksudnya bahwa hukum itu bisa berubah tergantung kepada perubahan masa dan tempatnya.
Dapat disimpulkan bahwa Allah
tidaklah menurunkan syariat Islam itu semata-mata hanya untuk orang Arab saja
sehingga orang yang non-Arab pun harus dipaksa mengikuti tradisi Arab. Islam
diturunkan untuk seluruh umat manusia yang notabene memiliki watak yang
berbeda-beda tergantung letak geografis tempat tinggalnya. Dengan bisa
berlakunya ajaran Islam di berbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa Islam itu
fleksibel bisa diterapkan di manapun dan kapanpun.
Komentar
Posting Komentar