NIKAH SIRIH, BOLEH ATAU TIDAK ????????

Nikah Sirih Boleh atau tidak ?
Oleh : M. Afif Yuniarto

Dari dulu sampai sekarang, pembahasan tentang nikah sirih atau lebih dikenal dengan nikah di bawah tangan memang tiada habisnya. Dinamakan demikian karena nikah ini dilakukan secara rahasia artinya tanpa didaftarkan kepada petugas pencatat perkawinan atau yang lazim kita sebut KUA (Kantor Urusan Agama). Karena hal yang terakhir inilah, nikah sirih masih diperdebatkan di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai boleh atau tidaknya.
Dalam konteks ke-indonesia-an, segala bentuk perkawinan harus dicatatkan di petugas yang diberi wewenang untuk melakukan demikian, KUA misalnya. Hal ini sebagaimana yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam buku pertama tentang perkawinan tepatnya pada pasal 2 ayat 2 yang mengatakan bahwa perkawinan harus dicatat.
Namun banyak pihak yang masih belum mematuhi akan adanya aturan itu. Mereka lebih memilih kawin tanpa melaporkannya kepada petugas yang berwenang. Mungkin karena alasan biaya atau jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke petugas pencatat itu cukup jauh.
Suatu bentuk perbuatan akan dianggap sah jika telah memenuhi syarat serta rukunnya. Syarat merupakan sesuatu yang harus dipenuhi sebelum sampai pada perbuatan yang dituju. Sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi yang letaknya berada dan menyatu di dalam perbuatan itu. Perkawinan merupakan salah satu perbuatan atau bentuk ibadah yang harus dipenuhi syarat dan rukunnya. Untuk rukunnya sendiri mayoritas ulama’ sepakat bahwa rukun nikah ada 4, yaitu shigot (ijab kabul), dua mempelai, wali dan dua orang saksi. Sedangkan syarat-syaratnya diantaranya adalah saksi harus orang yang adil, menggunakan lafadh nikah dan tazwij saat ijab kabul, dan lain sebagainya.
Orang-orang yang berpegang kuat pada pendapat ulama’ yang telah disusun berabad-abad lalu, pasti akan mengatakan selama syarat dan rukun perkawinan itu terpenuhi, maka perkawinan itu sah di mata agama. Sehingga meskipun perkawinan itu tanpa dilaporkan serta dicatat pada pihak yang berwenang, perkawinan itu masih tetap sah selama syarat rukunnya terpenuhi. Termasuk halnya nikah sirih atau nikah di bawah tangan.
Berbicara hukum islam ke-Indonesia-an, syarat rukun yang tertera di atas belumlah cukup. Sebab perkawinan harus dicatatkan, sehingga nikah sirih belumlah dianggap perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun dalam konteks hukum Islam ke-Indonesia-an.
Adanya usulan untuk memasukkan pencatatan sebagai hal penting dalam perkawinan ala Indonesia, merupakan hal yang sangat positif. Sebab pencatatan akan memberikan kekuatan hukum bagi kedua belah pihak (suami istri) maupun anak mereka di kemudian hari supaya tidak terjadi sengketa baik masalah perwalian maupun masalah kewarisan. Umpamanya ada orang lelaki yang bekerja jauh dari rumahnya. Dan dalam masa kerjanya itu si lelaki mengawini seorang wanita dan mendaftarkannya di KUA tanpa memberitahu keluarganya di rumah. Para keluarga di rumah itu masih menganggap bahwa si lelaki itu belum kawin. Setahun kemudian si lelaki itu meninggal dunia. Dan berita kewafatannya sudah sampai pada keluarganya di rumah. Si lelaki ini bisa dikatakan orang yang sukses dan memiliki banyak tinggalan baik berupa uang maupun barang. Oleh pihak keluarganya harta tinggalan lelaki itu dibagi sebagaimana cara waris Islam. Dan ketika pembagian itu, tiba-tiba datanglah seorang wanita meminta bagian warisan dari harta suaminya. Si keluarga ini bingung sebab sepengetahuan mereka si lelaki itu belum kawin. Lantas para keluarga itu menanyakan kepada wanita itu tentang bukti bahwa dirinya adalah suami dari lelaki itu. Ditunjukkanlah surat nikah sebagai bukti bahwa dirinya adalah istri dari lelaki itu. Dengan adanya surat nikah itupun, para pihak keluarga percaya dan memberikan harta warisan itu kepada wanita tersebut.
Dari contoh di atas, dapat diketahui bahwa pencatatan perkawinan itu sangat besar manfaatnya. Apa jadinya jika perkawinan itu tidak didaftarkan pada KUA sehingga suami dan istri itu tidak memiliki surat nikah sebagai bukti atas perkawinan mereka. Si wanita yang notabene adalah istri si lelaki itu tidak akan mendapatkan warisan dari harta suaminya sendiri lantaran keluarga yang lain tidak mengakui wanita itu sebagai istri dari lelaki tersebut. Dan menurut pendapat pribadi penulis pencatatan perkawinan itu bisa dimasukkan sebagai syarat perkawinan yang harus dipenuhi. Meskipun syarat ini tidak ditemui dalam pendapat para ulama’-ulama’ terdahulu maupun para imam madzhab. Lantas apakah salah jika memasukkan hal tersebut ke dalam syarat yang harus dipenuhi ?
Adanya syarat, tentunya akan membawa implikasi bahwa setiap perbuatan tanpa terpenuhinya syarat maka bisa dibilang perbuatan itu tidak sah. Demikian juga syarat pencatatan perkawinan. Jika hal ini tidak dipenuhi maka perkawinan akan berujung pada ketidak sahan. Masuknya pencatatan perkawinan sebagai syarat, menurut penulis lebih karena adanya unsur maslahah mursalah.[1] Sebab efek yang diakibatkan jika hal itu tidak terpenuhi akan berdampak pada perpecahan atau permusuhan yang mengakibatkan dosa. Maka dari itu perlu kiranya memasukkan gagasan ini sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi.
Jika ditanya apakah adanya penambahan syarat ini tidak menyalahi syarat-syarat yang disusun oleh ulama’-ulama’ terdahulu. Menurut pendapat penulis, adanya penambahan ini tidaklah menyalahi mereka. Dilihat dari segi masa, masa kita sekarang tentunya berbeda dengan masa para ulama’ pada zaman dulu. Dari segi tempat juga tentunya berbeda. Dan hal ini bisa mempengaruhi berkembangnya suatu hukum sebagaimana salah satu kaidah fiqhiyah yang mengatakan al hukmu yaduru ma’a al illati wujudan wa adaman Yang maksudnya bahwa hukum itu senantiasa berubah tergantung kepada ada atau tidaknya illat yang menyertainya. Menurut pendapat pribadi penulis, masa dan tempat merupakan salah satu illat yang bisa mempengaruhi adanya hukum.
Kita ambil contoh dari ulama’ Madzhab saja. Sekaliber Imam syafi’i pun pernah memperbarui pendapatnya yang lama dan mungkin salah satu alasannya adalah dari faktor geografis maupun masa. Pendapat beliau di Mesir tidak sedikit yang berbeda dengan pendapat baru beliau ketika di Irak. Contoh lain, imam Abu Hanifah dan Imam Malik memiliki banyak pendapat yang berlainan. Dan hal itu menurut analisa penulis terjadi karena latar belakang daerah mereka masing-masing. Imam Abu Hanifah ketika itu hidup di Irak yang banyak menggunakan ra’yu.[2] Sedangkan imam Malik hidup di Madinah yang banyak menggunakan hadits. Demikian juga ketika suatu hukum itu diterapkan di Indonesia, tentunya sedikit banyak akan terjadi perubahan sebagaimana illat yang ada.
Dari latar belakang inilah, penulis kira penambahan syarat “pencatatan perkawinan” sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika terjadi perkawinan tidaklah menyalahi aturan. Sebab dibalik syarat tambahan tersebut tentunya ada hal yang menjadikannya sebagai suatu yang penting. Dan hal ini menurut penulis sebagai salah satu khazanah fiqh ala Indonesia. Jika syarat-syarat maupun rukun perkawinan yang selama ini kita pelajari ternyata tidak ada syarat sebagaimana yang penulis tawarkan, maka itu merupakan fiqh yang non Indonesia sedangkan fiqh dengan penambahan syarat tersebut merupakan fiqh Indonesia. Apakah gagasan ini masih salah ? sedangkan kita tahu Imam Malik tidak pernah mencela Imam Abu Hanifah meskipun pendapat mereka berbeda 180 derajat demikian sebaliknya.
Dikatakan berbeda pendapat dengan ulama’-ulama’ terdahulu sebenarnya tidak terlalu benar, sebab penambahan ini hanya karena ada hal urgen yang harus dilakukan supaya tidak terjadi hal-hal yang dilarang agama. Dan mungkin saja dikemudian hari, jika illat yang dimaksud di atas tidak terjadi atau ada perubahan lagi maka kemungkinan hukum ketika itu juga akan berubah. Inilah kefleksibelan agama Islam. Fleksibel namun tidak liberal itulah agama Islam. Bisa dikatakan penambahan ini merupakan modifikasi tambahan yang tidak menyalahi dari pendapat-pendapat ulama’ terdahulu. Jika masih ada yang menentang mengenai hal ini, marilah kita kembali dari apa yang telah kita pelajari. Ketika kita menggunakan madzhab Syafi’i dalam masalah wudlu’ yang mengatakan bahwa menyentuh lawan jenis bisa membatalkan wudlu’ lantas apakah madzhab yang mengatakan menyentuh lawan jenis tidaklah batal itu dikatakan salah. Sedangkan masing-masing mereka mempunyai dalil tersendiri. Demikian juga pendapat tentang perkawinan dalam konteks ke-Indonesiaan ini.
Jadi, kesimpulannya pernikahan dalam konteks hukum Islam ke-Indonesiaan atau fiqh Indonesia belumlah dikatakan pernikahan yang sesuai dengan syarat dan rukunnya jika masih ada syarat yang belum dipenuhi yaitu pencatatan perkawinan pada petugas yang berwenang. Itulah contoh pendapat dalam masalah fiqh yang dalam hal ini merupakan fiqh ala Indonesia. Mengenai boleh atau tidaknya nikah sirih atau nikah di bawah tangan, kita kembalikan dulu permasalahan ini kepada pendapat yang kita ambil. Jika kita hidup di Indonesia tentunya kita sebagai warganya yang taat haruslah mengikuti aturan yang telah dibuat oleh ulil amri di negara ini. Maka dari itu nikah sirih di Indonesia tidak diperbolehkan. Dan jika mengambil pendapat fiqh yang non Indonesia yang diusung oleh para imam Madzhab, selama perkawinan itu memenuhi syarat dan rukun yang mereka tetapkan, maka disitulah letak kesahan perkawinan itu.
Pada dasarnya kita telah terjebak kepada banyaknya pendapat. Penulis kira syarat dan rukun yang ditetapkan itu merupakan hal-hal yang dirumuskan oleh para ulama’ yang digali melalui dalil-dalil melalui kaca mata ushul fiqh yang menghasilkan konsep fiqh dalam bentuk rumusan syarat dan rukun itu. Dan mungkin saja terjadi perbedaan dalam menggunakan pisau analisinya sehingga rumusan yang dihasilkan pun nantinya akan berbeda satu sama lain. Jadi, sebenarnya tidak ada salahnya menambahkan syarat tersebut di atas ke dalam rumusan syarat perkawinan.

                                                                                                         





[1] Kemaslahatan yang kejelasannya tidak dicantumkan dalam nash baik anjuran untuk melakukannya maupun meninggalkannya
[2] Pada masa itu hadits di Irak sangat sedikit sekali jumlahnya, maka dari itu ra’yu banyak dipakai

Komentar