FENOMENA
“SYAR’I”
DALAM
KEHIDUPAN KEBERAGAMAAN DI INDONESIA
Oleh:
M. Afif Yuniarto, S.H.I., M.Ag
Situs www.muslimpopulation.com merilis bahwa jumlah penduduk muslim dunia saat ini
mencapai 2.08 miliar, melebihi jumlah penduduk Kristen yang hanya sekitar 2.01
miliar. Bahkan dalam situs tersebut disebutkan bahwa di tahun 2030,
diperkirakan satu dari tiga penduduk dunia adalah muslim, atau jika
diprosentase, jumlah penduduk muslim dunia pada tahun 2030 adalah 33 persen
lebih dari total penduduk dunia. Hal ini menunjukkan bahwa secara kuantitas,
jumlah penduduk Muslim tak perlu diragukan lagi. Tapi pertanyaannya sekarang,
apakah kuantitas penduduk Muslim tersebut berbanding lurus dengan kualitas keberagamaannya?
Scgeherazade S Rehman dan Hossein Askari, dua orang guru besar asal The
George Washington University pernah melakukan penelitian berjudul “How
Islamic Are Islamic Countries?” dengan pertanyaan dasar “Seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan mempengaruhi
perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?”
yang hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal pada tahun 2010.
Hasil dari penelitian tersebut membuat banyak kalangan muslim dunia terhenyak,
sebab dari 208 negara di dunia yang diteliti, urutan pertama negara paling
Islami ditempati oleh Selandia Baru yang notabene bukan negara Islam. Sedangkan
56 negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Kerja sama
Islam) rata-rata berada di urutan 139.
Adapun Indonesia menempati posisi ke-140. Ini menunjukkan bahwa kuantitas
keislaman dari segi pemeluk, tak selamanya menentukan kualitas dalam berislam.
Dua penelitian di atas sangat bertolak belakang. Di satu sisi, secara
kuantitas warga Muslim adalah warga yang menguasai dunia, akan tetapi secara
kualitas ternyata bukan negara Islam yang menerapkan nilai Islam, justru negara
non-Islam yang dianggap banyak menerapkan nilai-nilai Islam. Hal ini
menunjukkan adanya kesenjangan antara pemeluk Muslim dengan ajarannya sendiri.
Padahal diketahui bahwa agama Islam adalah agama dengan ajaran paling kompleks.
Semua diatur dalam Islam, meski terkadang tidak tersampaikan secara
terang-terangan. Sungguh suatu ironi jika orang Islam tidak lagi memegang kuat
ajarannya sendiri.
Hal yang cukup menarik diperhatikan selama beberapa tahun belakangan ini
adalah fenomena “syar’i”, yaitu fenomena di mana seseorang melabelkan
kata syar’i/syariah atau halal untuk produk-produk mereka guna memberikan
legitimasi bahwa produk itu ‘paling’ sejalan dengan nilai syariat Islam.
Bermula sejak tahun 1991 ketika MUI mengusulkan berdirinya Bank Syariah, hingga
kini seakan fenomena “syar’i” tersebut tak pernah berhenti muncul. Mulai
dari laundry syariah, kolam renang syariah, hotel syariah, ojek syariah,
bahkan pakan kucing halal -di mana penulis sendiri masih bingung terhadap
konsep halal dalam makanan kucing- hingga hijab syar’i yang beberapa saat lalu
menjadi booming setelah diterbitkannya label halal terhadap Zoya, salah
satu merk hijab yang cukup terkemuka.
Jika dilihat, munculnya fenomena “syar’i” ini merupakan antitesa
atas produk-produk yang dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai Islami. Ojek
Syariah (Ojesy) misalnya, layanan ojek yang dianggap syar’i itu
merupakan antitesa atas maraknya ojek-ojek konvensional maupun modern yang
dianggap tak sejalan dengan nilai Islami. Tak ada batasan mahram, bebas, banyak
terjadi pelecehan utamanya terhadap kaum wanita menjadi latar belakang layanan
jasa ojek berlabel syar’i ini. Pun juga dengan hijab Syar’i, ia
merupakan antitesa atas maraknya penggunaan pakaian wanita pada umumnya atau
hijab secara khusus yang lebih terkesan sebagai fashion, daripada fungsi
utamanya, penutup aurat.
Upaya-upaya pelabelan syar’i tersebut memang patut diapresiasi, sebab hal
ini menjadi satu tanda bahwa masyarakat Indonesia mulai menerapkan
prinsip-prinsip agama –dalam hal ini Islam- dalam kehidupan mereka. Tapi apakah
dengan maraknya fenomena “syar’i” ini menjadi indikator utama bahwa kualitas
beragama masyarakat Indonesia meningkat?
Abdurrahmah Wahid (gus Dur), seorang guru bangsa, di masa hidupnya
terhitung beberapa kali mengkritik adanya kebijakan-kebijakan berlabel syariah
ini. Ia memberikan istilah “demam syariat” dan di kesempatan lain menggunakan
istilah “syariatisasi” terhadap kebijakan bank-bank yang menerapkan
prinsip-prinsip Islami. Ketika itu belum marak pelabelan syariah seperti
sekarang ini, andaikan ia hidup pada masa sekarang, tentu gus Dur akan
mengkritik fenomena “syar’i” ini. Ketika
itu gus Dur mengatakan bahwa syariatisasi adalah upaya yang sia-sia (tah}s}i>l
al-h}a>s}il), sebab yang terjadi hanyalah penamaan atau pelabelan saja,
sedangkan substansi atau isinya tidak diperhatikan, sehingga dilakukan secara
sembarangan. Seharusnya syariatisasi itu lebih tepat jika dilakukan oleh
masyarakat sendiri, tanpa penggunaan nama syariah.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah dengan adanya pelabelan seperti ini
menjadikan kualitas beragama masyarakat Indonesia semakin tinggi? Apakah
pelabelan itu hanya sekedar pelabelan untuk kepentingan komersial? Atau memang
pelabelan yang sesungguhnya? Tentu perlu ada kajian lebih lanjut.
Terlepas dari itu, adanya fenomena “syar’i” di kalangan muslim Indonesia
ini menunjukkan bahwa manusia itu “masih” butuh aturan agama. Entah yang
dimaksud syar’i itu seperti apa dan bagaimana, setidaknya dengan adanya
pelabelan syar’i ini masyarakat Muslim memulai gaya hidup berdasarkan
nilai Islami. Tujuan utama memang bukan pada pelabelan, melainkan kepada
implementasi perilaku yang bernilai Islami. Label “syar’i” hanya
motivasi dan tolak ukur agar produk atau kebijakan yang dibuat tidak melenceng
dari nilai Islam sehingga pada tujuan akhirnya seseorang bisa melakukan pembiasaan Islami atas perilakunya meski
tanpa adanya label “syar’i”. Sebagai kesimpulan, tentunya dengan
merebaknya fenomena “syar’i” ini, perlu dilakukan penelitian ulang
sebagaimana yang dilakukan oleh Scgeherazade S Rehman dan Hossein Askari,
apakah peringkat “keislaman” Indonesia meningkat setelah maraknya fenomena “syar’i”,
mengingat pada penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 ini fenomena “syar’i”
belum sebanyak sekarang, atau bahkan tidak berimplikasi terhadap peringkat
“keislaman” Indonesia. Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana
warga Muslim itu melakukan ajaran sebagaimana yang ada dalam Islam.
Wallahu A’lam...
Wallahu A’lam...
Komentar
Posting Komentar