ISLAM NUSANTARA DAN KETERKAITANNYA DENGAN MAQASID AL-SHARI’AH


ISLAM NUSANTARA DAN KETERKAITANNYA
DENGAN MAQASID AL-SHARI’AH
Oleh:
M. Afif Yuniarto, S.H.I., M.Ag

Terma “Islam Nusantara” mulai booming setelah ormas Nahdlatul Ulama yang notabene ormas terbesar se-Indonesia itu mengangkatnya sebagai tema Muktamar NU ke-33. Di dalam Muktamar yang diselenggarakan tahun 2015 di Jombang tersebut, Nahdlatul Ulama mengangkat tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Banyak respons terhadapnya, baik yang pro maupun yang kontra. Bagi yang pro mengatakan bahwa gagasan Islam Nusantara patut diapresiasi karena ia mengakomodir nilai budaya lokal -dalam hal ini adalah Nusantara (Indonesia). Sedangkan pihak yang kontra atas terma ini menyatakan dengan kelakar “Islam ya Islam saja, tidak usah embel-embel Nusantara segala”.
Sebelum masuk ke pembahasan yang lebih dalam, alangkah baiknya jika diuraikan terlebih dahulu pengertian dari Islam Nusantara itu sendiri. Terma Islam Nusantara tersusun dari dua kata, yaitu kata Islam dan Nusantara. Kata Islam merujuk kepada agama Islam sedangkan kata Nusantara merujuk kepada wilayah Negara Kesatuan Repubilk Indonesia.[1] Menurut Mustofa Bisri atau yang sering dikenal dengan gus Mus,[2] terma Islam Nusantara dalam kajian ilmu Nahwu merupakan susunan id}a>fah dengan mengira-ngirakan huruf fi, sehingga Islam Nusantara bermakna Islam “yang ada” di Nusantara.[3] Sedangkan menurut Alim Khoiri, selain mengandung susunan idhafah, terma Islam Nusantara ini juga bisa dijadikan dalam bentuk na’at man’ut (sifat menyifati), dengan ketentuan kata Islam sebagai man’ut (yang disifati) dan kata Nusantara sebagai (na’at). Jadi Islam Nusantara –atau jika dibaca sesuai kaidah nahwu menjadi al-Islam al-Nusantarai atau al-Islam al-Indunisi- berarti Islam “yang bercitarasa” Indonesia.[4]
Gagasan Islam Nusantara sebenarnya bukan gagasan baru, sebab hal ini sudah lama dikemukakan oleh para tokoh Indonesia. Hanya saja mereka tidak menggunakan redaksi Islam Nusantara. Meskipun demikian, secara substansi maksudnya sama dengan Islam Nusantara. Misalnya TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dengan gagasan Fikih Indonesia pada tahun 60-an, Hazairin dengan istilah Fiqh Pembangunan Nasional (Mazhab Indonesia), dan Abdurrahman Wahid -atau yang lebih dikenal dengan gus Dur- dengan istilah Pribumisasi Islam pada tahun 80-an.
Sekilas terma Islam Nusantara memang agak ganjil di telinga. Hal ini sebab akan memunculkan asumsi yang mengarah bahwa Islam itu bukan hanya satu. Jika memang demikian tentu ada yang namanya Islam Malaysia, Islam Irak, Islam Mesir, Islam Saudi, Islam Amerika dan Islam-Islam yang lain dengan menisbatkan pada negara di mana Islam itu berada. Akan tetapi yang perlu dipahami adalah memang benar bahwa Islam itu satu dan dibangun di atas landasan yang satu, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Tetapi perlu diingat juga bahwa Islam tidak sesempit itu. Selain mempunyai landasan yang satu (al-Qur’an dan al-Sunnah), Islam juga memiliki acuan maqasid al-shari’ah yang digali dari nas-nas syariat melalui sekian istiqra’ (penalaran induktif). Setidaknya dalam hal ini maqasid al-shari’ah mempunyai dua peran penting, yaitu: pertama, dalam memahami nusus al-shari’ah dengan memperhatikan maqasid al-shari’ah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual. Kedua, untuk memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nas secara langsung, lahirnya dalil-dalil sekunder selain al-Qur’an dan al-Sunnah seperti Qiyas, istihsan, sadd al-zari’ah, ‘urf dan maslahah mursalah merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahah sebagai tujuan shari’. [5]
Islam Nusantara bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.[6] Memang Islam bukanlah budaya sebab sebagaimana dikemukakan oleh Afifuddin Muhajir, Islam itu menyangkut dua ranah, yaitu ranah ilahiah dan insaniah. Akan tetapi berhubung Islam juga dipraktekkan oleh manusia (ranah insaniah) tentu tidak dapat mengesampingkan eksistensi kebudayaan.[7]
Sebagaimana yang sering disampaikan oleh Said Aqil Siraj dalam beberapa pidato, bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru maupun aliran baru. Perwujudan Islam Nusantara adalah Islam faktual yang bisa dilihat secara sosiologis maupun antropologis. Keberadaannya sudah tentu berbeda dengan Islam yang ada di Arab atau yang ada di Barat. Islam Nusantara merupakan keberagamaan umat muslim yang terbangun atas dasar kondisi sosial-budaya-sejarah Nusantara yang panjang dan terbentuknya tidak lepas dari para penyebar Islam di Nusantara utamanya para Walisongo.[8]
Bentuk operasionalisasi Islam Nusantara adalah proses perwujudan nilai-nilai Islam melalui budaya lokal. Dalam tataran praktisnya, membangun Islam Nusantara adalah menyusupkan nilai Islami dalam budaya lokal atau menyaring budaya agar sesuai nilai Islam. Proses tersebut dimungkinkan sebab dalam Islam terdapat kaidah yang mengakomodir adat/budaya -seperti al-‘adah muhakkamah (adat bisa dijadikan hukum), dan al-thabit bi al-‘urf ka al-thabit bi al-nas (ketetapan dengan tradisi sama dengan ketetapan dengan nas)- maupun pengembangan dan pemahaman aplikasi nas} yang berorientasi pada tercapainya maqasid al-shari’ah, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat yang bernaung pada lima prinsip dasar hifdh al-din, hifdh al-aql, hifdh al-nasl, hifdh al-mal, dan hifdh al-‘ird.[9]
Islam Nusantara menurut gus Dur –dengan penggunaan istilah pribumisasi Islam- bukanlah jawanisasi atau sinkretisme, sebab Islam Nusantara hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Juga bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nas dengan tetap memberikan peranan kepada usul al-fiqh dan al-qa’idah al-fiqhiyyah. Islam Nusantara –atau pribumisasi Islam dalam bahasa gus Dur- tidaklah mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam dengan tujuan agar Islam dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya.[10]





[1] Kata nusantara merupakan kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang terdiri dari kata “nusa” yang berarti pulau dan kata “antara” yang berarti terletak di seberang. Dalam kitab Negarakertagama yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca menggambarkan wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern  (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimanatan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaysia, Singapura, Brunei, dan bagian selatan Filipina. Lihat Yahya Cholil Staquf, “Islam Merangkul Nusantara”, dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2015), 191. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi offline disebutkan bahwa Nusantara berarti sebutan (nama) bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Lihat Software KBBI v1.1 (offline)
[2] Ahmad Mustofa Bisri, “Islam Nusantara, Makhluk Apakah Itu?, dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara, 14.
[3] Ada hal yang menarik tentang penggunaan susunan id}a>fah dalam terma Islam Nusantara ini. Banyak kalangan yang menganggap bahwa Islam Nusantara berarti membuat agama Islam baru, padahal sebenarnya bukan seperti itu. Dengan kaidah id}a>fah, sangkalan ini bisa terjawab. Dalam kajian ilmu nahwu diterangkan bahwa id}a>fah adalah susunan dua kalimat yang dihubungkan dengan mengira-ngirakan huruf min, fi>, dan lam. (Lihat Abi> Abdillah>h Muhammad Jama>l al-Di>n bin Ma>lik, Alfiyyah Ibn Ma>lik (t.tp: Da>r al-Ami>n, tt), 35). Khusus untuk terma Islam Nusantara, id}a>fahnya ini menyimpan fi>, sebagaimana ada syi’ir yang cukup masyhur yang tidak diketahui sumber asalnya mengatakan
فمن به جاء اسلام نوسانتارا        #        تسعة اولياء الله في جاوى
و من يرافـــــــــــضه لا يعلـــــــم في        #        باب اضافة لذاك فاعرف
لانه الاسلام في نوسانتــــــــــــارا         #        ناوية في ليس من او لاما 
Artinya:
Siapa yang membawa Islam Nusantara? -  merekalah wali songo di Jawa
Barang siapa yang menolak Islam Nusantara  -  dia belum mengerti ida>fah, maka ketahuilah
Islam Nusantara itu Islam di Nusantara  -  menyimpan makna fi> bukan min atau li
Dengan demikian arti dari Islam Nusantara menurut kaidah id}a>fah ini adalah Islam di Nusantara.   Lihat M. Alim Khoiri, “Tarkib Islam Nusantara”, dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,61117-lang,id-c,kolom-t,Tarkib+Islam+Nusantara-.phpx diakses pada 12 Oktober 2015.
[4] Ibid.
[5] Afifuddin Muhajir, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara, 63-64.
[6] Abdul Moqsith Ghazali, “Metodologi Islam Nusantara”, dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara, 106.
[7] Afifuddin Muhajir, “Meneguhkan Islam Nusantara...”, 65.
[8] Irham, “Mengaji Islam Nusantara Sebagai Islam Faktual” dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,61182-lang,id-c,kolom-t,Mengaji+Islam+Nusantara+Sebagai+Islam+Faktual-.phpx diakses pada 12 Oktober 2015.
[9] Zainul Milal Bizawie, “Meneguhkan Islam Nusantara”, dalam http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara/ diakses pada 13 Oktober 2015.
[10] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara, 35.

Komentar